Kamis, 23 Januari 2014

TREK UPHILL SUKANAGARA – CIMONCE KURANG DIKENAL NAMUN TETAP MENANTANG

Bagi sebagian goweser, goweser Bandung Selatan sekalipun, nama trek Sukanagara – Cimonce sepertinya kurang begitu dikenal baik, trek ini jarang sekali menjadi pilihan para goweser ketika akan melakukan trip gowes di daerah Soreang dan sekitarnya, mereka lebih memilih trek Leuweung Datar, Cilame - Buper Andes – Gunung Padang, Puncak Mulya atau menyusuri jalan raya Soreang - Ciwidey yang memang lebih terkenal. Trek yang letaknya hanya terpisah satu lembah dengan trek legendaris Leuweung Datar ini sebenarnya masih terhubung dengan trek Leuweung Datar tersebut, titik pertemuan antara trek Sukanagara dan trek Leuweung Datar ini berada di ujung tanjakan Gunung Bubut, sehingga sebenarnya trek ini bisa divariasikan juga dengan trek Leuweung Datar, seperti yang sudah pernah kami lakukan sebelumnya ketika menyusuri jalur Leuweung Datar beberapa waktu lalu. Namun karena kalah terkenal itulah, maka trek Sukanagara – Cimonce ini menjadi kurang begitu terdengar namanya di kalangan goweser uphiller.

menyusuri jalan desa Citaliktik menuju
persimpangan Kampung Panyirapan



Titik start trek Sukanagara – Cimonce berada di kampung Panyirapan, sangat mudah untuk dicapai. Kita hanya tinggal mengarahkan sepeda kita dari jalan raya Soreang ke arah selatan di perempatan Pemda menuju jalan Bypass Al - Fathu, dan setelah sekitar 1 km kita melaju kita akan menemukan sebuah persimpangan dengan berhiaskan gapura yang bertuliskan kampung Panyirapan, itulah jalan menuju desa Sukanagara.  Di depan kita berdiri jejeran perbukitan memanjang dari timur ke barat, di perbukitan itulah trek Sukanagara – Cimonce berada. Sedangkan untuk titik finish-nya ada 2 pilihan, menuju Pasir Jambu dengan menempuh trek makadam menanjak sejauh kurang lebih 2 km dari kampung Babakan sampai pertigaan Gunung Bubut Leuweung Datar (±1.240 mdpl) dengan elevasi sekitar 110 m, kemudian dilanjutkan dengan menempuh separuh dari trek Leuweung Datar menuju Ciseupan dan finish di jalan raya Pasir Jambu. titik finish selanjutnya dari trek ini adalah Cimonce kemudian berlanjut ke daerah Cukang Haur di jalan raya Soreang – Ciwidey, atau dari Cimonce bisa mengambil arah ke timur menuju Pasir Salam dan keluar di daerah Cebek, sekitar 500 meter sebelah barat kampung Panyirapan yang menjadi titik start trek ini. Bagi goweser sejati, yang memiliki stamina sangat prima mungkin mengambil titik finish di Pasir Jambu dengan melewati Gunung Bubut bisa dijadikan pilihan, namun bagi saya dan teman – teman yang hanya goweser suka – suka, cukup bijaksana juga untuk mengambil titik finish di Cimonce dan turun menuju Cukang Haur saja. 



Di suatu Minggu pagi yang cerah kami dan teman – teman goweser Koskas Bandung berkumpul di Lanud Sulaeman Bandung Selatan yang menjadi titik kumpul kami, dan kemudian tepat pukul 07.30 kami pun bergerak menyusuri jalan raya Kopo - Soreang yang ramai menuju kampung Panyirapan. Supaya tidak terlalu terganggu keramaian lalu lintas dan kemacetan akibat aktifitas pasar tumpah di sekitar kompleks Pemda Kabupaten Bandung, kami memilih untuk berbelok di daerah Cincin dan menyusuri jalan Citaliktik yang lebih sepi dan lebih segar. Sekitar pukul 08.15 wib kami pun tiba di gerbang jalan kampung Panyirapan, dan sepeda pun kemudian kami arahkan ke selatan menyusuri jalan ber-hotmix mulus menuju jalan desa Sukanagara - Babakan. Sekitar 1 km pertama kami mengayuh pedal sepeda, trek yang tersaji masih terbilang cukup bersahabat, tanjakan landai masih bisa dilalui dengan relatif lancar, satu yang menghambat gowesan kami adalah aktifitas delman dan sepeda – sepeda motor yang banyak berseliweran lumayan mengganggu gowesan kami. Barulah selepas sebuah pertigaan dan kami mulai memasuki jalan desa Sukanagara – Babakan jalan menjadi lebih lengang.

Jalan Desa Sukanagara yang lebih lengang



Namun ternyata, kondisi lengang yang kami temui bukan berarti gowesan menjadi lebih mudah, karena ternyata selepas pertigaan tadi jalan menjadi semakin menanjak. Walaupun tidak begitu curam namun jarak tanjakan yang cukup panjang dan nyaris tanpa jeda mulai membuat nafas kami tersengal, keringat mulai bercucuran deras dan lutut mulai terasa panas. Hanya saja karena belum genap menempuh jarak 2 km menggowes, kami masih bisa menjaga ritme gowesan dan masih berada dalam satu rombongan. Barulah setelah menginjak kilometer 3 setelah melewati kantor Balai Desa Sukanagara, lutut kami mulai terasa goyah dan gowesan mulai terasa melambat, dan rombongan pun mulai terpisah – pisah. Jalan yang semakin mulus selepas balai desa Sukanagara tidak membuat gowesan semakin mudah, tanjakan – tanjakan yang kami jumpai semakin curam dan panjang, mulai menguji ketahanan fisik dan mental kami mengayuh pedal sepeda. Satu – satunya hiburan yang juga menjadi obat pelepas lelah kami adalah pemandangan indah yang tersaji di belakang kami. Hamparan pemandangan kota dan pegunungan di kawasan utara dan timur Bandung cukup mengobati rasa lelah kami ketika kami harus menyerah dan berhenti  di pertengahan tanjakan, kami segera melemparkan pandangan ke arah utara dan segera saja kami reguk semua keindahan yang tersaji saat itu. Masih ada beberapa tanjakan lagi yang harus kami hadapi untuk sampai di kampung Babakan yang akan menjadi tempat beristirahat dan tempat re-grouping sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju kampung Cimonce. 



Sebuah tanjakan dengn erlatarkan
gunung Bukit Tunggul dan gunung Palasari



Kota Bandung diselimuti Smog

Satu tanjakan panjang dan berhias beberapa belokan tajam sudah menanti di hadapan kami. Pedal mulai dikayuh meskipun fisik sudah semakin melemah, hari yang sudah semakin terik juga menjadi siksaan tersendiri bagi kami menyusuri tanjakan ini. Dengan satu kali berhenti di tengah tanjakannya saya dan seorang teman akhirnya bisa juga melewati tanjakan ini, dan kami pun berhenti sejenak di ujung tanjakan untuk mengatur nafas dan mengistirahatkan otot – otot kaki yang semakin panas dan menegang sambil menikmati pemandangan sekitar yang indah. Di sebelah utara masih menemani dengan setia jejeran Gunung Burangrang, Tangkuban Parahu, Palasari, dan Manglayang dengan bangunan – bangunan kota yang seakan berserak di bawahnya. Di sebelah timur mata kami tertuju pada sebuah punggungan bukit yang dibatasi sebuah lembah yang cukup dalam dari tempat kami beristirahat saat ini, dan di punggungan sanalah trek legendaris Leuweung Datar berada. Samar – samar terdengar raungan suara mesin sepeda motor yang tengah berjuang melewati tanjakan – tanjakan Leuweung Datar yang lumayan “kejam”. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.20 wib, perjalanan pun kembali dilanjutkan menuju kampung Babakan. Sekitar 500 m lagi dari ujung tanjakan ini kami akan sampai di kampung Babakan, masih dengan menyusuri tanjakan meskipun sudah sedikit lebih “jinak” elevasinya. Pukul 09.30 sampailah kami di kampung Babakan desa Sukanagara yang memiliki ketinggian ±1.130 mdpl, setelah menempuh jarak sekitar 6,4 km. Nyaris tidak ada jalur mendatar di sini, meskipun memang tidak dijumpai juga tanjakan terjal seperti trek Leuweung Datar, namun tanjakan-tanjakan landai yang tanpa jeda tetap saja mampu menguras stamina. Trek ini sangat cocok bagi para goweser untuk menguji endurance, ketahanan fisik dan teknik cadence atau teknik mempertahankan ritme dan putaran gowesan kita. 

Berlatarkan pegunungan di utara dan timur kota Bandung



Kampung Babakan desa Sukanagara

Kampung Babakan desa Sukanagara


Di sebuah warung kami semua beristirahat sejenak, menghindari sengatan sinar matahari yang semakin terik sambil menunggu teman – teman yang masih berjuang menaklukkan tanjakan – tanjakan menuju kampung Babakan. Di kampung ini terdapat sebuah pertigaan, ke arah kiri berupa jalur makadam menanjak adalah jalur yang menuju Leuweung Datar, sejauh kurang lebih 2 km, tepatnya menuju pertigaan di ujung tanjakan Gunung Bubut yang merupakan titik tertinggi dari trek uphill Leuweung Datar ini. Sedangkan jalur ke arah kanan adalah jalur yang akan kami tuju, yaitu menuju kampung Cimonce yang berada sekitar 1 km lagi di depan kami. Satu persatu  teman – teman yang berada di rombongan terakhirpun tiba di sini. Setelah hampir 1 jam kami beristirahat dan re-grouping kami pun mulai beranjak meninggalkan kampung Babakan, kembali mengayuh pedal sepeda di tengah sengatan sinar matahari menuju kampung Cimonce. Jalur yang kami lalui relatif datar, hanya saja aspal yang mulus mulai berganti jalur makadam, dan perjalanan kami masih saja ditemani pemandangan indah kawasan Bandung Utara dan sekitarnya. Belum lama kami melaju, seorang teman tergoda untuk membeli beberapa buah tomat segar yang baru saja dipanen sang petani, rupanya bayangan akan segarnya menikmati segarnya buah tomat di cuaca tengah hari yang panas ini membuat dia tergoda untuk membeli satu kantong tomat.
Pada pukul 10.35 wib selepas sebuah turunan kami berhadapan dengan sebuah tanjakan makadam yang lumayan curam, berat juga mengayuh pedal menaklukkan tanjakan ini, apalagi di tengah sengatan sinar matahari yang semakin mendekati tengah hari. Terengah – engah kami melewatinya, dan setelah sekitar 5 menit berjibaku, sampai juga kami di ujung tanjakan yang sebenarnya tidak begitu panjang ini. 

Pertigaan menuju gn Bubut dan Cimonce


Trek makadam menuju Cimonce







Istirahat di Pasir Batu Bedil Cimonce

Setibanya di ujung tanjakan kami semua berhenti di sebuah pertigaan di sebuah tempat yang bernama Pasir Batu Bedil, sudah berada di kawasan kampung Cimonce. Di tempat ini kami beristirahat dan kembali re-grouping sambil menikmati buah tomat segar, nikmat sekali rasanya. Trek berikutnya yang akan kami lalui adalah sebuah turunan panjang dari kampung Cimonce menuju titik finish trek ini di jalan raya Soreang – Ciwidey di kampung Cukang Haur. Turunan dengan jarak sekitar 3 km dan elevasi sekitar 200 m ditambah dengan bonus pemandangan perbukitan di sebelah barat siap memanjakan kami di akhir trek ini. 5 menit kami meluncur menuruni sisa perjalanan ini, namun tiba – tiba godaan pemandangan indah perbukitan di hadapan kami memaksa kami untuk menghentikan sementara laju sepeda dan mengambil beberapa foto mengabadikan pemandangan indah di hadapan kami. Setelah puas berfoto – foto kami kembali meluncur turun, dan sekitar pukul 10.55 wib tibalah kami semua di tepi jalan raya Soreang – Ciwidey. 

Turunan panjang menuju jalan raya Soreang - Ciwidey



View kawasan barat dan utara Bandung


Titik finish di jalan raya Soreang - Ciwidey kp Cukang Haur

Kembali kami re-grouping di tepi jalan raya Soreang – Ciwidey dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan pulang menuju Bandung, spontan saya dan seorang teman ATB bersepakat untuk memberikan sedikit kejutan dalam perjalanan pulangnya, dengan tidak menyusuri jalan raya Soreang - Ciwidey yang mengarah ke Sadu tetapi saya sengaja mengarahkan rombongan menuju ke arah kota Ciwidey dulu. Teman – teman mulai bertanya – tanya, apalagi ternyata setelah ±500 m kami melaju, saya berbelok ke arah barat menuju sebuah jalan kecil. Kejutan pertama sudah semakin dekat, dan setelah melewati jembatan sungai Ciwidey tampaklah di hadapan kami 1 tanjakan curam yang lumayan panjang, itulah kejutan pertamanya. Tertatih – tatih kami melewati tanjakan ini, dan ujung dari tanjakan ini adalah sebuah pertigaan di jalan raya Sadu - Cikoneng – Ciwidey. Selain memberikan kejutan, tujuan saya melewati jalur ini adalah untuk menghindari jalur utama yang pasti akan sangat padat saat itu karena bertepatan dengan masa liburan long weekend akhir tahun, akan sangat tidak nyaman mengayuh sepeda di tengah lalu lintas yang sangat padat, karenanya jalur ini menjadi pilihan karena lebih sepi, lebih sejuk karena banyak dipayungi rerimbunan pohon – pohon bambu, juga cukup banyak pemandangan indah yang bisa dilihat di sepanjang jalur ini. 


Tanjakan curam menuju jalan Cikoneng






View jalan raya soreang - ciwidey terlihat dari jl Cikoneng

30 menit kami menyusuri jalur Cikoneng yang cukup mulus dan naik turun ini, tibalah kami kampung Sadu, di sinilah kejutan terakhir sudah saya siapkan untuk teman – teman gowes kali ini. Sepeda – sepeda tidak diarahkan menuju jalan utama, namun kembali menanjak sedikit ke arah barat kemudian masuk ke pematang sawah. Dan tak lama kemudian tampaklah di hadapan kami jembatan kereta api tua Sadu yang eksotis dan cukup terkenal itu, kami semua akan menggowes sepeda menyeberangi sungai Ciwidey dengan menyusuri jembatan kereta api tersebut. Semua tampak gembira menyambut sajian kejutan terakhir yang tidak terduga ini. Dan satu per satu sepedapun bergerak menyeberangi jembatan kereta ini, walaupun harus ekstra hati – hati karena di sepanjang jembatan tidak terdapat penghalang di samping kiri dan kanan jembatan. Tepat pukul 12 wib  siang kami semua sampai di ujung jembatan kereta api Sadu, kemudian bergerak menuju ke sebuah warung di ujung jembatan untuk beristirahat dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan pulang kembali menuju Bandung.


Menuju jembatan kereta api Sadu

Menyeberangi jembatan kereta api Sadu



Jembatan kereta api Sadu

Sebagai tambahan saja, apabila ingin mendapatkan sensasi yang berbeda dan ingin mendapatkan trek yang lebih menantang, rute trek ini bisa dibalik, start bisa dimulai di desa Sadu kemudian masuk ke Cimonce melalui Cukang Haur yang kondisi tanjakannya lebih terjal dan kondisi jalan yang tidak begitu bagus, penasaran?? selamat mencoba. 



Jumat, 27 Desember 2013

MENIKMATI SENSASI ROLLER COASTER TREK GUNUNG PUNTANG – BATUKARUT

Trek Gunung Puntang di kecamatan Cimaung adalah salah satu trek sepeda offroad yang sangat sayang untuk dilewatkan, terutama bagi para goweser pecinta XC dan XC trail dengan sajian tanjakan dan  turunan menantang di sepanjang jalurnya. Dikatakan menikmati sensasi roller coaster karena selama perjalanan sejauh kurang lebih 13 km menyusuri lereng – lereng pegunungan Malabar kita akan disuguhi trek yang sangat variatif mulai dari trek mendatar, tanjakan – tanjakan dan turunan – turunan yang berkontur landai maupun curam, lurus atau dihiasi belokan tajam, dengan panjang tanjakan atau turunan yang beragam yang akan membuat kita harus mengeluarkan seluruh kemampuan fisik, mental dan skill bersepeda kita ketika melaluinya, apalagi apabila menyusurinya dalam kondisi trek basah selama musim penghujan. Padahal bila dilihat dari keseluruhan trek offroad ini dari titik start di gerbang buper Gunung Puntang di ketinggian ±1.285 mdpl sampai titik finish di kampung Kiarapayung di ketinggian ±1.015 mdpl, elevasi dari trek offroadnya hanya sekitar 250 m, namun kontur pegunungan Malabar-lah yang menjadikan kondisi trek ini sangat variatif. Dan di samping itu, di sepanjang perjalanan, mulai dari Cimaung sampai pada saat menyusuri trek offroad kita akan mendapatkan beragam kejutan, terutama bagi para goweser yang sudah biasa gowes di tempat lain namun pertama kali menginjakkan kakinya di sini, perjalanan menyusuri trek ini akan menjadi pengalaman yang sangat mengesankan, karena sangat sulit ditemui di trek lain. Kejutan – kejutan apa saja itu? Nanti akan kita ulas di paragraf – paragraf berikutnya.


Loading dari pertigaan Cimaung-buper Gn Puntang


Untuk mencapai titik start trek ini di gerbang buper Gunung Puntang, kita bisa menempuh rute Banjaran – Cimaung, dilanjutkan dengan menempuh jalan aspal menanjak sejauh 8 km menuju buper Gunung Puntang. Jalur aspal Cimaung - buper Gunung Puntang sendiri merupakan jalur uphill favorit di daerah Bandung Selatan yang cukup banyak dikunjungi para goweser setiap akhir pekannya. Bagi yang memiliki stamina prima, menuju titik start trek offroad Gunung Puntang ini bisa dicapai dengan mengayuh sepeda melaui rute – rute seperti tersebut di atas. Opsi lainnya yaitu menggowes sepeda dulu menuju pertigaan Cimaung dengan mencicipi tanjakan Kiang Roke yang landai namun cukup panjang, kemudian me-loading  sepeda kita dari pertigaan Cimaung menuju buper Gunung Puntang bisa juga dijadikan alternatif. Atau kita bisa juga memilih untuk loading  langsung dari Bandung menuju gerbang buper Gunung Puntang. Saya dan teman – teman ingin menghemat tenaga dulu supaya lebih maksimal ketika menyusuri trek offroad-nya memilih opsi kedua, gowes dulu sampai Cimaung untuk pemanasan, dilanjutkan dengan me-loading  sepeda dari pertigaan Cimaung gerbang buper Gunung Puntang.


sajian pertama di awal singel trek

Pukul 09.45 saya dan teman – teman sampai di dekat gerbang buper Gunung Puntang, tepatnya di depan sebuah taman wisata. Kejutan pertama adalah ongkos loading  yang murah, satu unit mobil pick up berkapasitas 15 orang bersedia mengangkut kami dari Cimaung sampai gerbang buper hanya dengan ongkos 150 ribu saja, setelah dibagi dengan jumlah teman – teman yang ikut gowes pada kesempatan kali ini sebanyak 16 orang, jumlah iuran per-orangnya cukup membuat terkejut teman – teman goweser yang biasa loading  di daerah Bandung Utara dan sekitarnya. Satu – per satu sepeda pun diturunkan dari mobil kemudian dicek kembali sistem pengereman, shifting, dan tekanan bannya untuk memastikan semuanya dalam kondisi baik ketika kami mulai memasuki trek offroad. Ini untuk meminimalisasi kemungkinan gangguan yang mungkin terjadi selama perjalanan, mengingat trek yang dihadapi sangat beragam mulai dari tanjakan, turunan baik yang berupa trek tanah maupun makadam yang pastinya akan membuat sepeda kita bekerja keras. Setelah semuanya oke, satu per satu sepeda pun mulai memasuki singel trek mengarah ke utara memasuki hutan pinus. Sedikit turunan di awal trek dengan kondisi tanah yang becek sedikit berlumpur mulai membangkitkan semangat kami menggowes, semangat ini akan  sangat dibutuhkan untuk menghadapi tanjakan di depan yang sudah menghadang. Dengan stamina yang masih segar, tanjakan basah nan licin ini bisa dilalui tanpa harus dengan “tuntun bike” atau TTB, namun memang dibutuhkan kemampuan teknik pedalling dan handling sepeda yang bagus apabila ingin melewati tanjakan ini dengan mulus. Ada beberapa yang bisa melewati tanjakan becek ini dengan mulus, tapi ada juga yang gagal dan akhirnya memilih ber-TTB untuk melewatinya.






10 menit berlalu, setelah menyusuri trek yang cukup datar, tibalah kami di sebuah turunan yang lumayan panjang dan curam, kami menamai turunan ini Turunan Kopi, karena ujung turunan ini berada di rerimbunan pohon – pohon kopi hasil program PHBM beberapa tahun lalu. Sebenarnya turunan ini akan sangat enak untuk dilalui ketika kering atau sedikit basah, apabila kondisi trek sangat basah, selain tanah merah akan terbawa ban sepeda dan tersangkut di fork atau chainstay yang akhirnya akan mengunci sepeda kita, juga di beberapa tempat kondisi trek menjadi sangat licin, siap menjatuhkan kita dari sepeda. Turunan kopi  saat itu lumayan bersahabat, basah tapi tidak berlumpur, cukup enak untuk memacu sepeda, dengan dihiasi beberapa belokan cukup tajam, sayang rasanya kalau tidak mencoba untuk memacu adrenalin di turunan ini sampai ke ujungnya di rerimbunan pohon kopi, asal tetap berkonsentrasi mengendalikan sepeda supaya roda tidak masuk ke monorel dan membuat kita terjerembab mencium tanah. Biasanya di rerimbunan pohon kopi ini kami beristirahat cukup lama, selain untuk membersihkan tanah yang tersangkut di fork atau chainstay, juga untuk re-grouping, namun karena kali ini trek cukup bersahabat, sepeda masih “relatif bersih” kami pun langsung melanjutkan perjalanan tanpa jeda dulu di spot ini. 

Turunan menantang

Ujung turunan kopi

Kejutan berikutnya sudah menanti di depan kami, 10 menit kami berjalan meninggalkan turunan kopi kami pun bertemu dengan trek yang sebenarnya adalah sebuah parit berair cukup jernih dan deras, kali ini kita akan mengayuh sepeda melalui parit sepanjang ± 25 m, asyik sekali mengayuh sepeda melintasinya, namun harus tetap berhati – hati karena di sekitar parit banyak terdapat kerikil lepas yang akan mengganggu handling sepeda kita, bahkan tidak mungkin akan membuat kita terjatuh. Mengayuh pedal melintasi parit berair ini menjadi kejutan sekaligus pengalaman berkesan terutama bagi para goweser yang pertama kali menginjakkan kakinya di trek ini. Hiburan yang tersaji masih berlanjut, ujung dari parit ini adalah sebuah turunan yang cukup menantang yang berujung di sebuah sungai. Ketika menuruninya sebaiknya kita menunduk saja memperhatikan arah dan mengendalikan laju sepeda, menikmati sepeda yang meluncur turun dimainkan gravitasi, jangan dulu mengangkat kepala karena kalau kita mengangkat kepala maka akan terlihat di depan kita sebuah tanjakan siap menanti, jangan sampai kenikmatan kita meluncur turun harus terganggu karena melihat tanjakan yang akan dihadapi berikutnya. 


Melintasi trek parit berair





Setelah melintasi sungai kecil tadi tibalah kita di mulut tanjakan, cukup panjang dan berbelok di ujungnya. Di ujung belokan itu ada spot yang cukup luas dan nyaman untuk kita beristirahat sejenak mengatur nafas. 10 menit kami tertatih – tatih menuntun sepeda melewati tanjakan ini. Pukul 10.25 kami tiba di ujung tanjakan, sebuah tempat yang cukup nyaman, luas dan teduh karena dipayungi rerimbunan pohon – pohon pinus, kami pun beristirahat dan re-grouping. Beberapa teman segera membuka bekal makanan kecil dan snack untuk sekedar mengganjal perut yang mulai lapar. Kami belum akan membuka bekal makan siang di sini, karena sesi makan siang akan menjadi kejutan penutup di akhir perjalanan sesuai dengan yang sudah direncanakan sejak jauh – jauh hari.




Tempat beristirahat di ujung tanjakan

10 menit kami beristirahat di sini dan kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju spot berikutnya yaitu Tanjakan Langit 1, yang biasanya menjadi titik pertemuan dari beberapa jalur yang ada di trek offroad Gunung Puntang ini, terutama bagi para motocrosser. Untuk menuju Tanjakan Langit ini kami akan disuguhi trek menurun yang cukup panjang dan menantang, apabila sedang kering trek ini seakan menjadi surga bagi para goweser pencinta turunan/ downhill, mereka akan memacu sepeda mereka melahap turunan – turunan menantang menuju Tanjakan Langit. Sebelum menuju ke turunan tersebut kami harus menyusuri dulu trek mendatar dengan diselingi beberapa tanjakan dan turunan landai. Fisik yang sudah agak melemah menjadikan perjalanan menjadi agak melambat, mental mulai agak bermain di sini. Namun rasa lelah cukup terobati dengan indahnya pemandangan sekitar yang menghijau, eksotisme lereng – lereng curam, dan segarnya udara pegunungan Malabar. 15 menit kami menempuh jalur tersebut sebelum akhirnya kami sampai juga di di mulut turunan. Segmen pertama dari turunan ini adalah sebuah turunan curam di bawah rimbunnya pohon – pohon pinus. Treknya meliuk – liuk melintasi akar – akar yang dihiasi guguran daun pinus, ditambah kondisi tanah yang basah akan sedikit menegangkan pastinya melintasi segmen pertama dari turunan ini. Berbekal nyali saja rasanya tidak akan cukup untuk bisa membawa sepeda melewati trek di sela – sela pepohonan, karena roda sepeda kita akan menginjak tanah basah dan akar – akar licin ditambah guguran daun. Harus disertai dengan konsentrasi dan kemampuan mengendalikan sepeda yang baik untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus.  


Menuju turunan spot Tanjakan Langit

Menuju turunan spot Tanjakan Langit


Setelah melewati rerimbunan pohon pinus kondisi trek menurun ini menjadi agak bersahabat, karena dari sini trek menjadi terbuka sehingga sinar matahari bisa leluasa masuk dan membuat trek menjadi sedikit kering, dari sini kami pun memacu sepeda menuju sebuah persimpangan yang kedua – duanya sama menuju ke Tanjakan Langit, namun dua trek menurun ini menawarkan karakteristik turunan yang berbeda. 






Jalur yang mengarah ke kiri tipikal turunannya pendek – pendek dan curam, dihiasi beberapa belokan tajam, sangat cocok bagi para goweser yang menyukai turunan yang penuh tantangan. Apalagi dalam kondisi trek basah seperti saat ini, dalam kondisi kering pun trek ini sama menantangnya, karena tanah yang kering menjadi gembur dan lepas, sama memberi efek licin ketika melintasinya. Sedangkan turunan yang mengarah ke kanan menyajikan karakteristik turunan tidak begitu curam namun panjang dan minim belokan tajam. Kami mengambil jalur kanan karena kebetulan saja kami sudah lama tidak mencoba turunan itu, sepeda – sepeda meluncur cepat melintasi turunan mengasyikkan itu. 10 menit kami dimanjakan turunan – turunan tersebut sebelum akhirnya sampailah kami di Tanjakan langit yang memiliki ketinggian ±1.230 mdpl. 

Spot Tanjakan Langit

Spot Tanjakan Langit

Spot Tanjakan Langit adalah sebuah dataran cukup luas dan datar di ujung tanjakan terjal yang dikenal dengan nama Tanjakan Langit, disini juga terdapat saung bambu yang terkadang dijadikan warung makanan. Tempat ini menjadi tempat beristirahat para crosser sekaligus untuk mendinginkan mesin motor mereka sehabis menjajal terjalnya tanjakan ini, terutama bagi para crosser yang mengambil start dari Ciapus atau daerah – daerah di bawah lokasi Buper Gunung Puntang. Kami para goweser juga menjadikan tempat ini sebagai tempat beristirahat karena tempatnya cukup luas, sehingga leluasa untuk sekedar menjadi tempat beristirahat juga sebagai tempat untuk mengecek lagi kondisi sepeda setelah melahap trek sebelumnya. Sekitar 10 menit kami berhenti di tanjakan langit untuk beristirahat dan memeriksa kembali kondisi sepeda masing – masing, khususnya pada sistem pengereman, drivetrain dan tekanan ban setelah sebelumnya sekitar 1 jam lebih sepeda kami “siksa”. Setelah semua siap kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Tegal Caang, kondisi trek yang dilalui masih berupa turunan panjang dengan belokan – belokan landai dihiasi dengan sembulan akar – akar pinus dan monorel. Untungnya saat kami melintasinya, kondisi trek agak lebar, mungkin beberapa waktu ke belakang ada yang membersihkan pinggiran trek ini. Dengan kondisi ini kami bisa mengarahkan sepeda ke pinggiran trek untuk menghindari jebakan monorel . 5 menit berlalu dan sekitar pukul 11.15 sampailah kami di Tegal Caang, sebuah spot yang cukup indah karena berada di ujung punggungan, sehingga kita dapat menikmati pemandangan di arah barat, yang terhampar di kejauhan pemandangan kota Soreang, Banjaran, Baleendah dan sekitarnya. Di sini juga terdapat persimpangan, yang mengarah ke barat menuruni punggungan akan yang membawa kita ke Ciapus kota Banjaran, dan ke arah utara yang akan kami tuju adalah arah menuju kampung Cigentur Batukarut. Kembali kami berhenti di sini untuk re-grouping dan mengabadikan pemandangan indah di hadapan kami yang sangat sayang untuk dilewatkan. Di sini kami mengumpulkan tenaga, mengembalikan stamina yang sudah melemah, untuk menempuh perjalanan berikutnya menuju tanjakan langit 2, trek kebun kopi yang menanjak dan berbatu – batu, tanjakan mata air, rawa dan tanjakan hutan bambu sebelum akhirnya kami akan disuguhi sajian terakhir berupa turunan sangat panjang sampai di titik finish di Batukarut plus beberapa kejutan lain yang telah siap menanti kami.  


Tegal Caang

Foto bersama di Tegal Caang

Kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju tanjakan langit 2, sebuah tanjakan terjal dan panjang dengan 1 belokan tajam di tengahnya, kembali menanjak menuju ujungnya. 15 menit kami berjibaku melewati tanjakan ini, dan sesampainya di ujung tanjakan kami hanya berhenti sekitar 5 menit saja sekedar untuk mengatur nafas yang terengah – engah, karena di ujung tanjakan tidak ada tempat yang cukup luas untuk beristirahat juga karena waktu yang semakin beranjak siang sedangkan kami harus mengejar waktu untuk makan siang di lokasi yang sudah direncanakan sebelumnya. Dari ujung tanjakan kondisi trek relatif datar meskipun ada di beberapa titik sedikit menanjak, tapi  di sepanjang trek ini kami bisa mengayuh pedal sepeda dengan leluasa menuju sebuah pertigaan di sebuah sungai yang mengering. Dari sini terdengar raungan motor – motor cross yang juga tengah melintasi trek ini, pada jarak beberapa puluh meter di depan, kami pasti akan berpapasan dengan mereka. Lalu  sepeda kami arahkan ke kanan memasuki kebun kopi bawah rimbunnya pohon – pohon pinus, trek sedikit menanjak dan di sepanjang treknya banyak terdapat batu – batu besar sehingga sepeda tidak bisa lagi kami naiki, kami semua ber-TTB melewati kebun kopi ini.








Trek kebun kopi

Selepas kebun kopi spot yang dituju berikutnya adalah mata air, dan selama perjalanan menuju mata air kami sempat berpapasan dan berhenti di beberapa titik memberi jalan kepada beberapa rombongan motocross yang juga melintasi trek yang kami lalui. Untuk menuju spot mata air kami harus melewati 1 tanjakan terjal, panjang tanjakan sekitar 15 m, tapi karena kondisinya basah dan berlumpur, melewati tanjakan ini terasa sangat menyiksa. Ketika langkah - langkah menapaki tanjakan, kaki seakan tidak mendapatkan pijakan, pasti melorot lagi. Ditambah lagi harus menuntun sepeda, semakin bertambah penderitaan kami, beberapa teman mencoba untuk memanggul sepeda, namun ternyata itu pun bukan opsi yang bagus untuk melewatinya. Fisik dan mental prima kembali bermain di sini, ditambah dengan kerjasama yang solid kami saling membantu berusaha melewati tanjakan ini. Kami pun berjajar di pinggiran tanjakan di tanah yang masih agak berumput dan memiliki undakan, satu per satu sepeda kami estafetkan sampai ke ujung tanjakan, 15 menit kami harus berjuang untuk melewati tanjakan yang “hanya”  berjarak 15 m saja. Tapi satu kejutan sudah menanti di hadapan kami, di ujung tanjakan, itu yang membuat kami bersemangat untuk segera melewati tanjakan berlumpur ini. Sebuah mata air di ujung tanjakan, tepat di bawah trek yang kami lewati siap menyegarkan kerongkongan dan badan kami yang lelah disiksa tanjakan. Setiba di ujung tanjakan, beberapa teman bergegas menuruni tebing setinggi sekitar 5 m menuju sumber mata air yang berada di celah bebatuan, dari celah itu mengalir air yang sangat jernih, membuat tergoda kami untuk segera meminumnya. Satu per satu botol – botol air minum diisi penuh, dan kemudian mengalirlah air murni pegunungan malabar membasahi kerongkongan, membuat kami seakan mendapatkan kembali tenaga baru untuk menyelesaikan trip ini. Sekali lagi, bagi goweser yang pertama kali ke sini, suguhan air segar alami langsung dari sumbernya akan menjadi pengalaman yang mengesankan dan sulit untuk dilupakan. 






Tanjakan menuju sumber mata air

mengambil air langsung dari mata air

10 menit kami berhenti di sini, kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali, dan langsung berhadapan dengan tanjakan berlumpur yang tipikalnya mirip sekali dengan tanjakan di bawah mata air tadi. Berbekal pengalaman melewati tanjakan pertama, kami pun langsung membuat formasi berjajar di sepanjang sisi tanjakan untuk mengestafetkan sepeda – sepeda, untuk kali ini kami juga menggunakan seutas tambang sebagai alat tambahan sehingga kami bisa lebih cepat dan lancar menaklukkan tanjakan lumpur kedua ini. Spot berikutnya yang kami lalui adalah rawa, trek di sini menurun, memasuki lahan basah yang mirip rawa, kemudian menanjak landai dan sedikit jalur mendatar menuju hutan bambu. Dengan memasuki hutan bambu ini berarti kami sudah berada di bagian akhir dari singel trek Gunung Puntang. Mulai dari sini trek seluruhnya menurun, diawali singel trek menuju bendungan, dilanjutkan dengan trek makadam di hutan pinus dan ladang penduduk menuju kampung Kiara Payung, dan diakhiri dengan jalan aspal menurun menuju Batukarut. 



Tanjakan di atas mata air

Tambang pun digunakan untuk melewati tanjakan

Menuju rawa



Pukul 12.45 ketika perut sudah semakin menjerit minta segera diisi, satu per satu pun meluncur meninggalkan hutan bambu memasuki singel trek menurun bertanah basah nan licin di antara rerimbunan pepohonan Kaliandra. Beberapa teman terjerembab mencium tanah terkena jebakan monorel, namun semua tetap gembira dan menikmati sensasi yang disajikan turunan ini. Selepas sebuah pertigaan, kondisi trek menjadi agak kering karena tidak lagi dipayungi rerimbunan pohon kaliandra, kami semakin memacu sepeda menuju ujung singel trek di sebuah pertigaan. Semua tiba di pertigaan di mulut trek makadam dengan wajah – wajah gembira setelah disuguhi turunan sebelumnya. Kami kemudian mengambil arah kiri di pertigaan tadi menuju kejutan terakhir, yaitu istirahat dan makan siang di pinggir bendungan berlatarkan sisi utara pegunungan Malabar. Kami bergegas mengayuh sepeda menuju bendungan, dan wajah – wajah gembira itu terlihat semakin sumringah melihat kejutan terakhir dari perjalanan menyusuri trek offroad Gunung Puntang ini.


Hutan bambu

Turunan panjang menuju ujung singel trek



Menuju Dam

Pukul 13.00 kami pun tiba di bendungan yang memiliki ketinggian ±1.190 mdpl ini, setelah mendapatkan lokasi yang cukup nyaman di pinggir bendungan kami semua memarkir sepeda – sepeda dan segera membuka dan kemudian menikmati bekal makan siang dengan lahap. Rasa gembira dan kepuasan seakan berlipat – lipat, tanjakan – tanjakan terjal seakan terlupakan setelah dimanjakan dengan turunan – turunan, segarnya meminum air dari mata air, dan sekarang ditutup dengan makan siang bersama di bendungan yang cukup indah dan sunyi ini. Ini masih belum cukup, di akhir perjalanan turunan panjang masih menanti kami. Hampir 1 jam kami berada di tempat ini, sekitar pukul 13.55 kami pun beranjak meninggalkan bendungan indah nan sunyi ini untuk menuntaskan perjalanan. Turunan makadam panjang dari pertigaan bendungan – ujung singel trek menuju pinggiran hutan pinus, berlanjut menuruni makadam di tengah ladang – ladang penduduk menuju ujung trek offroad di kampung Kiara Payung, kemudian ditutup dengan menyusuri jalan aspal menurun sejauh ± 3 km menuju titik finish di kampung Cigentur Batukarut yang berketinggian ± 730 mdpl, dari bendungan sampai kampung Cigentur secara keseluruhan kami akan meluncur turun dengan elevasi ± 460 m, sangat mengasyikkan. 





Makan siang bersama di tepi danau





Satu per satu sepeda meluncur turun di trek makadam hutan pinus menuju ladang penduduk dan kemudian memasuki jalan aspal di kampung Kiara Payung. Di kampung Kiara Payung kami berhenti sejenak untuk re-grouping, dan kembali melanjutkan perjalanan meluncur menyusuri jalan aspal menurun yang relatif mulus menuju kampung Cigentur. Sekitar pukul 14.15 kami tiba di kampung Cigentur, setelah re-grouping sekali lagi kami pun beranjak meninggalkan kampung Cigentur memasuki jalan Banjaran – Arjasari menuju jalan raya Banjaran, dan pulang ke rumah masing – masing dengan membawa berjuta momen dan pengalaman berkesan selama menyusuri trek roller coaster Gunung Puntang – Batukarut ini. 


Menuju hutan pinus Kiara Payung



selepas hutan pinus

ujung trek offroad di kampung kiara payung