Jumat, 27 Desember 2013

MENIKMATI SENSASI ROLLER COASTER TREK GUNUNG PUNTANG – BATUKARUT

Trek Gunung Puntang di kecamatan Cimaung adalah salah satu trek sepeda offroad yang sangat sayang untuk dilewatkan, terutama bagi para goweser pecinta XC dan XC trail dengan sajian tanjakan dan  turunan menantang di sepanjang jalurnya. Dikatakan menikmati sensasi roller coaster karena selama perjalanan sejauh kurang lebih 13 km menyusuri lereng – lereng pegunungan Malabar kita akan disuguhi trek yang sangat variatif mulai dari trek mendatar, tanjakan – tanjakan dan turunan – turunan yang berkontur landai maupun curam, lurus atau dihiasi belokan tajam, dengan panjang tanjakan atau turunan yang beragam yang akan membuat kita harus mengeluarkan seluruh kemampuan fisik, mental dan skill bersepeda kita ketika melaluinya, apalagi apabila menyusurinya dalam kondisi trek basah selama musim penghujan. Padahal bila dilihat dari keseluruhan trek offroad ini dari titik start di gerbang buper Gunung Puntang di ketinggian ±1.285 mdpl sampai titik finish di kampung Kiarapayung di ketinggian ±1.015 mdpl, elevasi dari trek offroadnya hanya sekitar 250 m, namun kontur pegunungan Malabar-lah yang menjadikan kondisi trek ini sangat variatif. Dan di samping itu, di sepanjang perjalanan, mulai dari Cimaung sampai pada saat menyusuri trek offroad kita akan mendapatkan beragam kejutan, terutama bagi para goweser yang sudah biasa gowes di tempat lain namun pertama kali menginjakkan kakinya di sini, perjalanan menyusuri trek ini akan menjadi pengalaman yang sangat mengesankan, karena sangat sulit ditemui di trek lain. Kejutan – kejutan apa saja itu? Nanti akan kita ulas di paragraf – paragraf berikutnya.


Loading dari pertigaan Cimaung-buper Gn Puntang


Untuk mencapai titik start trek ini di gerbang buper Gunung Puntang, kita bisa menempuh rute Banjaran – Cimaung, dilanjutkan dengan menempuh jalan aspal menanjak sejauh 8 km menuju buper Gunung Puntang. Jalur aspal Cimaung - buper Gunung Puntang sendiri merupakan jalur uphill favorit di daerah Bandung Selatan yang cukup banyak dikunjungi para goweser setiap akhir pekannya. Bagi yang memiliki stamina prima, menuju titik start trek offroad Gunung Puntang ini bisa dicapai dengan mengayuh sepeda melaui rute – rute seperti tersebut di atas. Opsi lainnya yaitu menggowes sepeda dulu menuju pertigaan Cimaung dengan mencicipi tanjakan Kiang Roke yang landai namun cukup panjang, kemudian me-loading  sepeda kita dari pertigaan Cimaung menuju buper Gunung Puntang bisa juga dijadikan alternatif. Atau kita bisa juga memilih untuk loading  langsung dari Bandung menuju gerbang buper Gunung Puntang. Saya dan teman – teman ingin menghemat tenaga dulu supaya lebih maksimal ketika menyusuri trek offroad-nya memilih opsi kedua, gowes dulu sampai Cimaung untuk pemanasan, dilanjutkan dengan me-loading  sepeda dari pertigaan Cimaung gerbang buper Gunung Puntang.


sajian pertama di awal singel trek

Pukul 09.45 saya dan teman – teman sampai di dekat gerbang buper Gunung Puntang, tepatnya di depan sebuah taman wisata. Kejutan pertama adalah ongkos loading  yang murah, satu unit mobil pick up berkapasitas 15 orang bersedia mengangkut kami dari Cimaung sampai gerbang buper hanya dengan ongkos 150 ribu saja, setelah dibagi dengan jumlah teman – teman yang ikut gowes pada kesempatan kali ini sebanyak 16 orang, jumlah iuran per-orangnya cukup membuat terkejut teman – teman goweser yang biasa loading  di daerah Bandung Utara dan sekitarnya. Satu – per satu sepeda pun diturunkan dari mobil kemudian dicek kembali sistem pengereman, shifting, dan tekanan bannya untuk memastikan semuanya dalam kondisi baik ketika kami mulai memasuki trek offroad. Ini untuk meminimalisasi kemungkinan gangguan yang mungkin terjadi selama perjalanan, mengingat trek yang dihadapi sangat beragam mulai dari tanjakan, turunan baik yang berupa trek tanah maupun makadam yang pastinya akan membuat sepeda kita bekerja keras. Setelah semuanya oke, satu per satu sepeda pun mulai memasuki singel trek mengarah ke utara memasuki hutan pinus. Sedikit turunan di awal trek dengan kondisi tanah yang becek sedikit berlumpur mulai membangkitkan semangat kami menggowes, semangat ini akan  sangat dibutuhkan untuk menghadapi tanjakan di depan yang sudah menghadang. Dengan stamina yang masih segar, tanjakan basah nan licin ini bisa dilalui tanpa harus dengan “tuntun bike” atau TTB, namun memang dibutuhkan kemampuan teknik pedalling dan handling sepeda yang bagus apabila ingin melewati tanjakan ini dengan mulus. Ada beberapa yang bisa melewati tanjakan becek ini dengan mulus, tapi ada juga yang gagal dan akhirnya memilih ber-TTB untuk melewatinya.






10 menit berlalu, setelah menyusuri trek yang cukup datar, tibalah kami di sebuah turunan yang lumayan panjang dan curam, kami menamai turunan ini Turunan Kopi, karena ujung turunan ini berada di rerimbunan pohon – pohon kopi hasil program PHBM beberapa tahun lalu. Sebenarnya turunan ini akan sangat enak untuk dilalui ketika kering atau sedikit basah, apabila kondisi trek sangat basah, selain tanah merah akan terbawa ban sepeda dan tersangkut di fork atau chainstay yang akhirnya akan mengunci sepeda kita, juga di beberapa tempat kondisi trek menjadi sangat licin, siap menjatuhkan kita dari sepeda. Turunan kopi  saat itu lumayan bersahabat, basah tapi tidak berlumpur, cukup enak untuk memacu sepeda, dengan dihiasi beberapa belokan cukup tajam, sayang rasanya kalau tidak mencoba untuk memacu adrenalin di turunan ini sampai ke ujungnya di rerimbunan pohon kopi, asal tetap berkonsentrasi mengendalikan sepeda supaya roda tidak masuk ke monorel dan membuat kita terjerembab mencium tanah. Biasanya di rerimbunan pohon kopi ini kami beristirahat cukup lama, selain untuk membersihkan tanah yang tersangkut di fork atau chainstay, juga untuk re-grouping, namun karena kali ini trek cukup bersahabat, sepeda masih “relatif bersih” kami pun langsung melanjutkan perjalanan tanpa jeda dulu di spot ini. 

Turunan menantang

Ujung turunan kopi

Kejutan berikutnya sudah menanti di depan kami, 10 menit kami berjalan meninggalkan turunan kopi kami pun bertemu dengan trek yang sebenarnya adalah sebuah parit berair cukup jernih dan deras, kali ini kita akan mengayuh sepeda melalui parit sepanjang ± 25 m, asyik sekali mengayuh sepeda melintasinya, namun harus tetap berhati – hati karena di sekitar parit banyak terdapat kerikil lepas yang akan mengganggu handling sepeda kita, bahkan tidak mungkin akan membuat kita terjatuh. Mengayuh pedal melintasi parit berair ini menjadi kejutan sekaligus pengalaman berkesan terutama bagi para goweser yang pertama kali menginjakkan kakinya di trek ini. Hiburan yang tersaji masih berlanjut, ujung dari parit ini adalah sebuah turunan yang cukup menantang yang berujung di sebuah sungai. Ketika menuruninya sebaiknya kita menunduk saja memperhatikan arah dan mengendalikan laju sepeda, menikmati sepeda yang meluncur turun dimainkan gravitasi, jangan dulu mengangkat kepala karena kalau kita mengangkat kepala maka akan terlihat di depan kita sebuah tanjakan siap menanti, jangan sampai kenikmatan kita meluncur turun harus terganggu karena melihat tanjakan yang akan dihadapi berikutnya. 


Melintasi trek parit berair





Setelah melintasi sungai kecil tadi tibalah kita di mulut tanjakan, cukup panjang dan berbelok di ujungnya. Di ujung belokan itu ada spot yang cukup luas dan nyaman untuk kita beristirahat sejenak mengatur nafas. 10 menit kami tertatih – tatih menuntun sepeda melewati tanjakan ini. Pukul 10.25 kami tiba di ujung tanjakan, sebuah tempat yang cukup nyaman, luas dan teduh karena dipayungi rerimbunan pohon – pohon pinus, kami pun beristirahat dan re-grouping. Beberapa teman segera membuka bekal makanan kecil dan snack untuk sekedar mengganjal perut yang mulai lapar. Kami belum akan membuka bekal makan siang di sini, karena sesi makan siang akan menjadi kejutan penutup di akhir perjalanan sesuai dengan yang sudah direncanakan sejak jauh – jauh hari.




Tempat beristirahat di ujung tanjakan

10 menit kami beristirahat di sini dan kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju spot berikutnya yaitu Tanjakan Langit 1, yang biasanya menjadi titik pertemuan dari beberapa jalur yang ada di trek offroad Gunung Puntang ini, terutama bagi para motocrosser. Untuk menuju Tanjakan Langit ini kami akan disuguhi trek menurun yang cukup panjang dan menantang, apabila sedang kering trek ini seakan menjadi surga bagi para goweser pencinta turunan/ downhill, mereka akan memacu sepeda mereka melahap turunan – turunan menantang menuju Tanjakan Langit. Sebelum menuju ke turunan tersebut kami harus menyusuri dulu trek mendatar dengan diselingi beberapa tanjakan dan turunan landai. Fisik yang sudah agak melemah menjadikan perjalanan menjadi agak melambat, mental mulai agak bermain di sini. Namun rasa lelah cukup terobati dengan indahnya pemandangan sekitar yang menghijau, eksotisme lereng – lereng curam, dan segarnya udara pegunungan Malabar. 15 menit kami menempuh jalur tersebut sebelum akhirnya kami sampai juga di di mulut turunan. Segmen pertama dari turunan ini adalah sebuah turunan curam di bawah rimbunnya pohon – pohon pinus. Treknya meliuk – liuk melintasi akar – akar yang dihiasi guguran daun pinus, ditambah kondisi tanah yang basah akan sedikit menegangkan pastinya melintasi segmen pertama dari turunan ini. Berbekal nyali saja rasanya tidak akan cukup untuk bisa membawa sepeda melewati trek di sela – sela pepohonan, karena roda sepeda kita akan menginjak tanah basah dan akar – akar licin ditambah guguran daun. Harus disertai dengan konsentrasi dan kemampuan mengendalikan sepeda yang baik untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus.  


Menuju turunan spot Tanjakan Langit

Menuju turunan spot Tanjakan Langit


Setelah melewati rerimbunan pohon pinus kondisi trek menurun ini menjadi agak bersahabat, karena dari sini trek menjadi terbuka sehingga sinar matahari bisa leluasa masuk dan membuat trek menjadi sedikit kering, dari sini kami pun memacu sepeda menuju sebuah persimpangan yang kedua – duanya sama menuju ke Tanjakan Langit, namun dua trek menurun ini menawarkan karakteristik turunan yang berbeda. 






Jalur yang mengarah ke kiri tipikal turunannya pendek – pendek dan curam, dihiasi beberapa belokan tajam, sangat cocok bagi para goweser yang menyukai turunan yang penuh tantangan. Apalagi dalam kondisi trek basah seperti saat ini, dalam kondisi kering pun trek ini sama menantangnya, karena tanah yang kering menjadi gembur dan lepas, sama memberi efek licin ketika melintasinya. Sedangkan turunan yang mengarah ke kanan menyajikan karakteristik turunan tidak begitu curam namun panjang dan minim belokan tajam. Kami mengambil jalur kanan karena kebetulan saja kami sudah lama tidak mencoba turunan itu, sepeda – sepeda meluncur cepat melintasi turunan mengasyikkan itu. 10 menit kami dimanjakan turunan – turunan tersebut sebelum akhirnya sampailah kami di Tanjakan langit yang memiliki ketinggian ±1.230 mdpl. 

Spot Tanjakan Langit

Spot Tanjakan Langit

Spot Tanjakan Langit adalah sebuah dataran cukup luas dan datar di ujung tanjakan terjal yang dikenal dengan nama Tanjakan Langit, disini juga terdapat saung bambu yang terkadang dijadikan warung makanan. Tempat ini menjadi tempat beristirahat para crosser sekaligus untuk mendinginkan mesin motor mereka sehabis menjajal terjalnya tanjakan ini, terutama bagi para crosser yang mengambil start dari Ciapus atau daerah – daerah di bawah lokasi Buper Gunung Puntang. Kami para goweser juga menjadikan tempat ini sebagai tempat beristirahat karena tempatnya cukup luas, sehingga leluasa untuk sekedar menjadi tempat beristirahat juga sebagai tempat untuk mengecek lagi kondisi sepeda setelah melahap trek sebelumnya. Sekitar 10 menit kami berhenti di tanjakan langit untuk beristirahat dan memeriksa kembali kondisi sepeda masing – masing, khususnya pada sistem pengereman, drivetrain dan tekanan ban setelah sebelumnya sekitar 1 jam lebih sepeda kami “siksa”. Setelah semua siap kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Tegal Caang, kondisi trek yang dilalui masih berupa turunan panjang dengan belokan – belokan landai dihiasi dengan sembulan akar – akar pinus dan monorel. Untungnya saat kami melintasinya, kondisi trek agak lebar, mungkin beberapa waktu ke belakang ada yang membersihkan pinggiran trek ini. Dengan kondisi ini kami bisa mengarahkan sepeda ke pinggiran trek untuk menghindari jebakan monorel . 5 menit berlalu dan sekitar pukul 11.15 sampailah kami di Tegal Caang, sebuah spot yang cukup indah karena berada di ujung punggungan, sehingga kita dapat menikmati pemandangan di arah barat, yang terhampar di kejauhan pemandangan kota Soreang, Banjaran, Baleendah dan sekitarnya. Di sini juga terdapat persimpangan, yang mengarah ke barat menuruni punggungan akan yang membawa kita ke Ciapus kota Banjaran, dan ke arah utara yang akan kami tuju adalah arah menuju kampung Cigentur Batukarut. Kembali kami berhenti di sini untuk re-grouping dan mengabadikan pemandangan indah di hadapan kami yang sangat sayang untuk dilewatkan. Di sini kami mengumpulkan tenaga, mengembalikan stamina yang sudah melemah, untuk menempuh perjalanan berikutnya menuju tanjakan langit 2, trek kebun kopi yang menanjak dan berbatu – batu, tanjakan mata air, rawa dan tanjakan hutan bambu sebelum akhirnya kami akan disuguhi sajian terakhir berupa turunan sangat panjang sampai di titik finish di Batukarut plus beberapa kejutan lain yang telah siap menanti kami.  


Tegal Caang

Foto bersama di Tegal Caang

Kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju tanjakan langit 2, sebuah tanjakan terjal dan panjang dengan 1 belokan tajam di tengahnya, kembali menanjak menuju ujungnya. 15 menit kami berjibaku melewati tanjakan ini, dan sesampainya di ujung tanjakan kami hanya berhenti sekitar 5 menit saja sekedar untuk mengatur nafas yang terengah – engah, karena di ujung tanjakan tidak ada tempat yang cukup luas untuk beristirahat juga karena waktu yang semakin beranjak siang sedangkan kami harus mengejar waktu untuk makan siang di lokasi yang sudah direncanakan sebelumnya. Dari ujung tanjakan kondisi trek relatif datar meskipun ada di beberapa titik sedikit menanjak, tapi  di sepanjang trek ini kami bisa mengayuh pedal sepeda dengan leluasa menuju sebuah pertigaan di sebuah sungai yang mengering. Dari sini terdengar raungan motor – motor cross yang juga tengah melintasi trek ini, pada jarak beberapa puluh meter di depan, kami pasti akan berpapasan dengan mereka. Lalu  sepeda kami arahkan ke kanan memasuki kebun kopi bawah rimbunnya pohon – pohon pinus, trek sedikit menanjak dan di sepanjang treknya banyak terdapat batu – batu besar sehingga sepeda tidak bisa lagi kami naiki, kami semua ber-TTB melewati kebun kopi ini.








Trek kebun kopi

Selepas kebun kopi spot yang dituju berikutnya adalah mata air, dan selama perjalanan menuju mata air kami sempat berpapasan dan berhenti di beberapa titik memberi jalan kepada beberapa rombongan motocross yang juga melintasi trek yang kami lalui. Untuk menuju spot mata air kami harus melewati 1 tanjakan terjal, panjang tanjakan sekitar 15 m, tapi karena kondisinya basah dan berlumpur, melewati tanjakan ini terasa sangat menyiksa. Ketika langkah - langkah menapaki tanjakan, kaki seakan tidak mendapatkan pijakan, pasti melorot lagi. Ditambah lagi harus menuntun sepeda, semakin bertambah penderitaan kami, beberapa teman mencoba untuk memanggul sepeda, namun ternyata itu pun bukan opsi yang bagus untuk melewatinya. Fisik dan mental prima kembali bermain di sini, ditambah dengan kerjasama yang solid kami saling membantu berusaha melewati tanjakan ini. Kami pun berjajar di pinggiran tanjakan di tanah yang masih agak berumput dan memiliki undakan, satu per satu sepeda kami estafetkan sampai ke ujung tanjakan, 15 menit kami harus berjuang untuk melewati tanjakan yang “hanya”  berjarak 15 m saja. Tapi satu kejutan sudah menanti di hadapan kami, di ujung tanjakan, itu yang membuat kami bersemangat untuk segera melewati tanjakan berlumpur ini. Sebuah mata air di ujung tanjakan, tepat di bawah trek yang kami lewati siap menyegarkan kerongkongan dan badan kami yang lelah disiksa tanjakan. Setiba di ujung tanjakan, beberapa teman bergegas menuruni tebing setinggi sekitar 5 m menuju sumber mata air yang berada di celah bebatuan, dari celah itu mengalir air yang sangat jernih, membuat tergoda kami untuk segera meminumnya. Satu per satu botol – botol air minum diisi penuh, dan kemudian mengalirlah air murni pegunungan malabar membasahi kerongkongan, membuat kami seakan mendapatkan kembali tenaga baru untuk menyelesaikan trip ini. Sekali lagi, bagi goweser yang pertama kali ke sini, suguhan air segar alami langsung dari sumbernya akan menjadi pengalaman yang mengesankan dan sulit untuk dilupakan. 






Tanjakan menuju sumber mata air

mengambil air langsung dari mata air

10 menit kami berhenti di sini, kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali, dan langsung berhadapan dengan tanjakan berlumpur yang tipikalnya mirip sekali dengan tanjakan di bawah mata air tadi. Berbekal pengalaman melewati tanjakan pertama, kami pun langsung membuat formasi berjajar di sepanjang sisi tanjakan untuk mengestafetkan sepeda – sepeda, untuk kali ini kami juga menggunakan seutas tambang sebagai alat tambahan sehingga kami bisa lebih cepat dan lancar menaklukkan tanjakan lumpur kedua ini. Spot berikutnya yang kami lalui adalah rawa, trek di sini menurun, memasuki lahan basah yang mirip rawa, kemudian menanjak landai dan sedikit jalur mendatar menuju hutan bambu. Dengan memasuki hutan bambu ini berarti kami sudah berada di bagian akhir dari singel trek Gunung Puntang. Mulai dari sini trek seluruhnya menurun, diawali singel trek menuju bendungan, dilanjutkan dengan trek makadam di hutan pinus dan ladang penduduk menuju kampung Kiara Payung, dan diakhiri dengan jalan aspal menurun menuju Batukarut. 



Tanjakan di atas mata air

Tambang pun digunakan untuk melewati tanjakan

Menuju rawa



Pukul 12.45 ketika perut sudah semakin menjerit minta segera diisi, satu per satu pun meluncur meninggalkan hutan bambu memasuki singel trek menurun bertanah basah nan licin di antara rerimbunan pepohonan Kaliandra. Beberapa teman terjerembab mencium tanah terkena jebakan monorel, namun semua tetap gembira dan menikmati sensasi yang disajikan turunan ini. Selepas sebuah pertigaan, kondisi trek menjadi agak kering karena tidak lagi dipayungi rerimbunan pohon kaliandra, kami semakin memacu sepeda menuju ujung singel trek di sebuah pertigaan. Semua tiba di pertigaan di mulut trek makadam dengan wajah – wajah gembira setelah disuguhi turunan sebelumnya. Kami kemudian mengambil arah kiri di pertigaan tadi menuju kejutan terakhir, yaitu istirahat dan makan siang di pinggir bendungan berlatarkan sisi utara pegunungan Malabar. Kami bergegas mengayuh sepeda menuju bendungan, dan wajah – wajah gembira itu terlihat semakin sumringah melihat kejutan terakhir dari perjalanan menyusuri trek offroad Gunung Puntang ini.


Hutan bambu

Turunan panjang menuju ujung singel trek



Menuju Dam

Pukul 13.00 kami pun tiba di bendungan yang memiliki ketinggian ±1.190 mdpl ini, setelah mendapatkan lokasi yang cukup nyaman di pinggir bendungan kami semua memarkir sepeda – sepeda dan segera membuka dan kemudian menikmati bekal makan siang dengan lahap. Rasa gembira dan kepuasan seakan berlipat – lipat, tanjakan – tanjakan terjal seakan terlupakan setelah dimanjakan dengan turunan – turunan, segarnya meminum air dari mata air, dan sekarang ditutup dengan makan siang bersama di bendungan yang cukup indah dan sunyi ini. Ini masih belum cukup, di akhir perjalanan turunan panjang masih menanti kami. Hampir 1 jam kami berada di tempat ini, sekitar pukul 13.55 kami pun beranjak meninggalkan bendungan indah nan sunyi ini untuk menuntaskan perjalanan. Turunan makadam panjang dari pertigaan bendungan – ujung singel trek menuju pinggiran hutan pinus, berlanjut menuruni makadam di tengah ladang – ladang penduduk menuju ujung trek offroad di kampung Kiara Payung, kemudian ditutup dengan menyusuri jalan aspal menurun sejauh ± 3 km menuju titik finish di kampung Cigentur Batukarut yang berketinggian ± 730 mdpl, dari bendungan sampai kampung Cigentur secara keseluruhan kami akan meluncur turun dengan elevasi ± 460 m, sangat mengasyikkan. 





Makan siang bersama di tepi danau





Satu per satu sepeda meluncur turun di trek makadam hutan pinus menuju ladang penduduk dan kemudian memasuki jalan aspal di kampung Kiara Payung. Di kampung Kiara Payung kami berhenti sejenak untuk re-grouping, dan kembali melanjutkan perjalanan meluncur menyusuri jalan aspal menurun yang relatif mulus menuju kampung Cigentur. Sekitar pukul 14.15 kami tiba di kampung Cigentur, setelah re-grouping sekali lagi kami pun beranjak meninggalkan kampung Cigentur memasuki jalan Banjaran – Arjasari menuju jalan raya Banjaran, dan pulang ke rumah masing – masing dengan membawa berjuta momen dan pengalaman berkesan selama menyusuri trek roller coaster Gunung Puntang – Batukarut ini. 


Menuju hutan pinus Kiara Payung



selepas hutan pinus

ujung trek offroad di kampung kiara payung

Kamis, 21 November 2013

GOWES PIKNIK TREK KERTAMANAH -CURUG PANGANTEN-CINYIRUAN

Sekali lagi Pangalengan menawarkan trek XC yang sangat menarik dan menantang, lokasinya masih di sekitar perkebunan Kertamanah . Untuk gowes kali ini kami akan mencoba trek Kertamanah -Artavella kemudian dilanjutkan piknik ke Curug Panganten dan finish di kampung Cinyiruan perkebunan Kertamanah. Salah satu sesi acara dari gowes kali ini adalah piknik sekaligus botram atau makan bersama di area Curug Panganten sebelum kemudian meluncur menuruni perbukitan dari Artavella sampai Cinyiruan. Trip kali ini merupakan kombinasi dari trek Artavella-Campaka, dan dilanjutkan dengan menyusuri singel trek Campaka-Cinyiruan yang merupakan bagian dari trek XC Kertamanah-Bojongwaru yang sudah pernah saya bahas sebelumnya. Sudah terbayang keasyikan yang akan kami dapatkan dari trip kali ini, sebelumnya kami pernah mencoba trek Kertamanah -Bojongwaru yang memiliki turunan-turunan menantang,dan kali ini trek ini akan disatukan dengan trek Artavella yang posisinya lebih tinggi dari Kertamanah yang baru pertama kali kami coba. Bisa dibayangkan keasyikan yang akan didapatkan ketika sepeda-sepeda kami meluncur menuruni perbukitan dari ketinggian ±1960 mdpl menuju ketinggian ±1550 mdpl.

Seperti biasa kami berangkat pagi - pagi dari Bandung, sepeda kami loading dengan menggunakan 1 unit truk. Sampai di penangkaran rusa Kertamanah sekitar pukul 9.15 dan sepeda kami turunkan di sini, kami berencana untuk mulai menggowes dari sini menuju Artavella sejauh kurang lebih 5 km. setelah mempersiapkan sepeda masing-masing dan menyantap cemilan sekedar untuk mengganjal perut dan menambah stamina, kami pun memulai perjalanan menuju Artavella dengan menempuh jalur Campaka menuju titik pemberhentian pertama di daerah kampung Cibitung. Jarak dari Campaka ke kampung Cibitung kurang lebih 2 km, berupa jalan makadam dan tanjakan-tanjakan landai, kami masih bisa menikmati perjalanan ini, meskipun tetap saja membuat nafas menjadi lebih cepat dan jantung berdetak lebih kencang, lumayan sebagai pemanasan.


Titik start di kampung Campaka

Jalan makadam menanjak menuju kampung Cibitung

Sebenarnya selain melewati Campaka, jalur menuju kampung Cibitung  bisa juga ditempuh melalui jalur PLTP Wayang - Windu yang kondisi jalannya beraspal dan relatif masih mulus, hanya saja melewati jalur ini jalan yang dilalui sedikit memutar dan lebih banyak dihiasi tanjakan-tanjakan. Dengan mengambil jalur Campaka maka tenaga bisa dihemat karena  mulai dari kampung Cibitung -lah baru akan ditemui tanjakan – tanjakan yang lebih berat menuju Artavella. Ujung dari jalur makadam ini adalah sebuah perempatan yang lokasinya berada di atas kampung Cibitung , yang juga menjadi pertemuan dengan jalur dari PLTP Wayang – Windu. Mulai dari sini kondisi jalan menjadi beraspal, dengan kerusakan di beberapa bagiannya, sedikit memudahkan kami untuk mengendalikan sepeda. Namun ternyata mulai dari sini tanjakan yang dijumpai mulai terasa lebih berat.


Jalan menanjak selepas pertigaan kampung Cibitung





Hari semakin terik, mengayuh pedal di jalan menanjak di ketinggian lebih dari 1600 mdpl benar – benar menyiksa. Gowesan terasa sangat lambat dan berat, ditambah dengan gersangnya kondisi di sekitar jalur yang dilalui, hampir tidak ditemui tegakan pepohonan rindang yang memayungi kami, benar – benar menjadi ujian fisik dan mental untuk melaluinya. Dengan sendirinya rombongan kami terbagi menjadi 3 grup, grup yang berada paling depan adalah teman – teman yang memiliki stamina prima, mereka mengayuh pedal sepeda dengan stabil, kecepatan konstan dan tanpa istirahat  meskipun di jalan menanjak. Grup kedua yang berada di tengah adalah yang stamina dan kondisi fisiknya pas – pasan namun masih berusaha mengayuh pedal melewati jalur ini, dan sebisa mungkin tanpa TTB, meskipun akhirnya setiap sehabis melewati satu tanjakan harus berhenti untuk mengatur nafas dan mengistirahatkan otot – otot kaki yang mulai menegang, untuk kemudian kembali mengayuh sepedanya melanjutkan perjalanan, slogan penyemangat yang biasa dipakai adalah “biar lambat asal tidak TTB”. Sedang grup yang terakhir adalah teman – teman yang lebih memilih untuk sepenuhnya ber-TTB, menuntun sepeda – sepeda mereka. Sebagian ada yang memang sudah kehabisan tenaga sejak memasuki jalan aspal di Cibitung  tadi, atau ada juga yang TTB karena sepeda – sepeda mereka berspesifikasi FR yang akan membuat pengendaranya sangat tersiksa apabila mencoba mengendarai sepedanya di jalur aspal menanjak ini. Namun yang harus diapresiasi dari grup ketiga ini adalah mental dan semangat mereka yang kuat untuk terus melanjutkan perjalanan meskipun harus bersusah payah menuntun sepeda, dan menjadi yang paling lambat di antara rombongan ini. Tidak terasa jarak Kertamanah  – Artavella yang “hanya” 5 km harus ditempuh selama 2 jam, karena sepanjang jalan yang dilalui adalah tanjakan – tanjakan yang nyaris tanpa jeda yang akhirnya membuat waktu tempuhnya menjadi sedemikian lama.

Jalan menanjak menuju Artavella

Titik pemberhentian kami berikutnya adalah Artavella di ketinggian ±1960 mdpl, tempat ini adalah sebuah pertigaan yang salah satu jalurnya menuju ke Curug Panganten. Di kawasan ini pula jalan aspal berakhir, di sebuah sumur sumber gas bumi PLTP Wayang – Windu. Sekitar pukul 12 sampailah kami di Artavella, dari pertigaan ini kami menuju ke arah utara untuk beristirahat sejenak di sebuah warung kecil yang berada di tengah – tengah ladang sayuran dan tegakan pohon – pohon Eukaliptus. Warung ini menjadi tempat beristirahat dan menjadi penyedia kebutuhan para petani penggarap seperti rokok, minuman ringan, makanan kecil dan sebagainya selagi mereka bekerja di sekitar sini. Kami pun beristirahat di warung ini, menyantap makanan kecil dan cemilan untuk mengembalikan stamina yang terkuras selama perjalanan dari Kertamanah  tadi. Setelah beristirahat sekitar 45 menit kami pun melanjutkan sisa perjalanan menuju Curug Panganten. Jalur yang harus ditempuh adalah sebuah singel trek menurun di tengah – tengah ladang, di ujung turunan sana jalur terlihat menanjak sampai ke batas hutan. Setelah sedikit menghibur diri dengan meluncur di turunan yang tidak terlalu panjang itu sampailah kami di sebuah jembatan kecil di ujung turunan tadi, dan di depan kami adalah sebuah singel trek menanjak di tengah ladang sayuran dan kemudian disambung dengan hamparan lahan bukaan yang kelihatannya belum lama diolah dari hutan tak lama lagi akan menjelma menjadi ladang - ladang sayuran. 


Menuju Warung di daerah Artavella

Warung Artavella

Singel trek menuju Curug  Panganten

Melihat dari kondisinya tidak memungkinkan untuk mengendarai sepeda melewatinya, akhirnya kami semua pun menuntun sepeda masing – masing merayapinya, dan setelah bersusah payah melewati ladang dan kemudian menuju ke lahan bukaan bertanah gembur yang menyulitkan kaki untuk melangkah, pukul 13 akhirnya sampai juga kami di batas hutan yang ditandai oleh pagar memanjang yang memisahkan kawasan hutan dan lahan bukaan. Batas hutan ini berada di sebuah punggungan, ini berarti perjalanan kami berikutnya menuju curug untuk sementara tidak akan menemukan tanjakan-tanjakan, namun trek yang sempit karena berada di pinggir jurang tidak memungkinkan untuk membawa sepeda sampai ke lokasi curug, kami pun memutuskan untuk menyimpan sepeda di batas hutan.  Setelah memastikan sepeda dalam posisi aman kami pun melanjutkan perjalanan menuju lokasi curug. Singel trek menuju lokasi curug selain sempit juga licin karena memang curug ini cukup tersembunyi di tengah hutan sehingga tidak begitu banyak orang yang mengetahui keberadaan Curug Panganten ini, membuat lokasi di sekitarnya pun masih asri dan terjaga kealamiannya. 


Menyusuri lahan bukaan menuju batas hutan


Menuju batas hutan


Bergaya di tempat penyimpanan sepeda

Trek yang masih sangat alami menuju lokasi curug



Setelah berjalan meniti singel trek sempit dan licin kurang lebih 100 m, sampailah kami di sebuah belokan, sampai di belokan ini suara gemuruh air terjun belum terdengar, baru lah setelah kami melewati punggungan kecil gemuruh suara air terjun terdengar, tak lama kemudian di hadapan kami tampaklah 2 curug kembar berdampingan setinggi ± 30 m, itulah Curug Panganten, indah sekali. Airnya yang deras namun jernih menimbulkan semburan angin bercampur dengan uap - uap air yang membasahi tubuh kami. Sejenak awan tersibak dan matahari menyinari curug ini, seketika itu pula selarik pelangi muncul di hadapan kami, dahsyat..!! Semua rasa lelah hilang berganti rasa takjub dan gembira menyaksikan sajian alam yang menakjubkan di hadapan kami. Beberapa teman spontan menjerit bahagia mengekspresikan rasa hati mereka mendapati semua keindahan ini. 


Curug Panganten



Segera kami mendekati curug, mengambil posisi terbagus dan kemudian berfoto – foto mengabadikan keindahan Curug Panganten ini. Namun kami tidak sempat berenang disini, meskipun saat itu air curug tidak begitu besar membuat air curug cukup jernih, karena berhubung hari yang sudah semakin siang sementara perjalanan kami masih cukup jauh. Juga posisi Curug Panganten yang berada di ketinggian lebih dari 2000 mdpl membuat suhu di sekitar sini cukup dingin, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 14.00 wib. Kami pun segera menuju acara utama kami yang sudah direncanakan yaitu botram alias makan bersama. Kami mengambil spot di sebuah tempat yang agak lapang, di balik sebuah belokan supaya ketika kami makan kami tidak akan kebasahan terkena terpaan uap air curug. Perut yang sejak dari tadi meminta untuk diisi akhirnya bisa mendapatkan bagiannya, kami segera membuka dan memakan perbekalan yang kami bawa. Nikmat sekali menyantap makanan ketika rasa lapar sudah mencapai puncaknya sambil diiringi deru air terjun Curug Panganten, sempurna. Beberapa teman segera memanaskan air dan membuat teh dan kopi, semakin terasa sempurna suasana botram saat itu, beristirahat setelah perut kenyang terisi sambil menikmati indahnya Curug Panganten dengan ditemani segelas teh panas. Tidak terasa 1 jam lebih kami berada di tempat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 15, kami harus segera meninggalkan Curug Panganten karena kami masih harus menuntaskan sisa perjalanan trip ini menuju titik finish di kampung Cinyiruan.



Foto bersama di depan Curug Panganten

Suasana botram/ makan bersama di dekat curug

Meluncur turun di lahan bukaan selepas batas hutan




Kami pun kembali berjalan menyusuri singel trek menuju batas hutan ke tempat sepeda  diparkir, segera mempersiapkan sepeda masing – masing dan sepeda pun melaju membelah lahan – lahan bukaan dan ladang – ladang sayuran menuju Artavella. Setelah regrouping  kami pun segera meluncur meninggalkan Artavella untuk menjemput kejutan – kejutan yang akan kami jumpai di trek menurun di depan. Seperti sudah disebutkan di atas, posisi Artavella berada di ketinggian ±1960 mdpl dan perjalanan akan menuju kampung Cinyiruan di ketinggian ±1550 mdpl, meluncur turun di sepanjang singel trek membelah ladang – ladang sayur dan perkebunan teh dengan elevasi ± 400 m pasti akan memberikan sensasi yang luar biasa, apalagi buat para pencinta downhill dengan sepeda FR-nya yang sejak dari kampung Cibitung sudah harus menuntun sepedanya, sekaranglah saatnya bagi mereka untuk “membalas dendam”. Dari pertigaan Artavella kami menuju ke arah timur menuju ujung jalan aspal di sebuah sumur gas milik PLTP Wayang – Windu, dari sana mulai masuk singel trek, dan selepas sumur gas tersebut terbentanglah singel trek meliuk – liuk menuruni perbukitan di bawah kami, berlatar ladang sayuran dan perkebunan teh.  kota Pangalengan dan Situ Cileunca di kejauhan terlihat seakan dibentengi oleh deretan pegunungan kawasan Cagar Alam Gunung Tilu. Sejenak kami berhenti untuk mengabadikan pemandangan menakjubkan ini, dan selanjutnya kami pun memacu sepeda masing – masing menuruni singel trek yang masih terhitung mulus ini. Turunan pertama yang kami hadapi adalah sebuah turunan yang cukup curam dan panjang, kami menamainya “Turunan 45” , karena tingkat kemiringannya yang ekstrem, juga karena di sini kami diharuskan untuk memiliki “semangat 45” untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus. Beberapa teman sukses menuruninya, terutama mereka yang mengendarai sepeda AM dan FR. Saya dan teman – teman yang bersepeda XC dengan travel fork maksimal 120 mm pun tidak mau ketinggalan untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus walaupun kami harus dengan berhati – hati ekstra konsentrasi. Beberapa teman ada yang gagal dan terjatuh ketika melewatinya, namun semua tetap gembira 

Singel trek menyusuri sumur gas bumi PLTP Wayang Windu

Turunan menantang 

Turunan 45


Turunan 45

Di turunan ini sebagian dari kami memang masih belum bisa menikmatinya, mungkin masih beradaptasi. Tapi di turunan – turunan berikutnyalah kami semua bisa sepenuhnya menikmati sajian trek menurun ini. Setelah menyeberangi sebuah sungai kecil sampailah kami di sebuah turunan panjang yang cukup landai, bebas monorail dan cukup lebar pula, kurang lebih 1m lebarnya. Di sinilah kami benar – benar bersenang – senang mengendarai sepeda yang melaju kencang, melibas belokan – belokan yang membentuk berm – berm  alami, juga melakukan jump  di dropoff yang juga terbentuk secara alami. Tidak terasa sampailah kami di sebuah persimpangan, ini adalah titik awal dari Trek XC Kertamanah-Bojongwaru yang sudah pernah saya bahas sebelumnya. Jadi mulai dari sini kami akan menyusuri trek Kertamanah  – Bojongwaru, yang masih dihiasi turunan – turunan menantang dan mengasyikkan meskipun di beberapa bagian ada dihiasi tanjakan – tanjakan. Namun karena pertimbangan waktu yang sudah beranjak sore (sekitar pukul 15.30 kami tiba di persimpangan ini) maka diputuskanlah kami akan menyusuri separuh atau ½ bagian dari trek Kertamanah  – Bojongwaru ini dan akan mengambil titik finish di Makam Belanda Gerard Alfred Cup kemudian turun menuju kampung Cinyiruan. 



Turunan menantang selepas turunan 45

Menuju Persimpangan trek Kertamanah - Bojongwaru

Kembali kami mengayuh pedal mengarah ke timur menuju turunan di sebuah lembah, dan satu per satu sepeda meluncur turun menuju ujung turunan yang berupa sungai kecil, dan seperti biasa, sebuah turunan di lembah yang diakhiri sebuah sungai, pastilah kita akan berhadapan dengan tanjakan, begitu pula di sini, kami sekarang berhadapan dengan sebuah tanjakan yang akan membawa kami menuju jalan aspal untuk kemudian nanti kembali masuk ke singel trek “walungan saat”. Di persimpangan tadi kami berada di ketinggian ±1550 mdpl, dan kami akan menyusuri singel trek disambung dengan jalan aspal menanjak ini menuju ketinggian ±1750 mdpl, untuk kemudian turun lagi ke kampung cinyiruan di ketinggian ±1500 mdpl. Lumayan setelah berjibaku dengan tanjakan yang cukup melelahkan ini kami akan mendapatkan bonus turunan panjang di trek “walungan saat” sampai ke makam Mr. Cup. Tiba di persimpangan menuju trek “walungan saat” kembali kami beristirahat mengatur nafas sekaligus menunggu teman – teman yang masih berjuang mengayuh pedalnya menuju ke sini. 












Masuk jalan aspal menanjak menuju trek "walungan saat"


Menanjak menuju trek "walungan saat"

Beristirahat sambil regrouping di awal trek
"walungan saat" - makam Mr. Cup

Di sini kami beristirahat sambil menikmati pemandangan perkebunan teh yang menakjubkan, cukup untuk sedikit mengembalikan stamina. Setelah regrouping kami pun satu per satu mulai menuruni trek “walungan saat” yang diawali dengan “pumping track” atau trek yang berupa gundukan – gundukan kecil, enak sekali melewatinya, apalagi dengan sepeda yang bersuspensi mumpuni. Selepas ini singel trek berubah sedikit mulus dengan hiasan 1 belokan tajam membentuk berm, nikmat sekali melewati turunan berbelok ini, dan setelah ini barulah kami melewati singel trek yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan sungai kering, banyak batu – batu besar juga cerukan – cerukan dalam, karena itulah trek ini dinamai “walungan saat” yang dalam bahasa indonesia berarti sungai yang kering. Dari sini disambung kembali dengan turunan yang cukup landai dan agak lebar dihiasi rerumputan yang merupakan sajian penutup dari trip kali ini, di sini kami  memacu sepeda sambil tetap waspada dan konsentrasi karena di beberapa bagian terdapat batu – batu lumayan besar yang tertutup rerumputan. 






Trek "walungan saat"

Titik finish di makam Mr. Cup

Menuju kampung Cinyiruan

Akhirnya sekitar pukul 16.30 sore sampailah kami di makam belanda Mr. Cup, dan setelah semua berkumpul kami pun masuk ke jalan makadam menurun menuju kampung Cinyiruan. Ada sedikit rasa penasaran karena masih banyak turunan menantang apabila kami melanjutkan trip ini hingga kampung Bojongwaru. Tapi tidak apa – apa, karena kami sudah berencana akan mencoba sekali lagi trip ini, start  dari Artavella dan  finish bukan di Bojongwaru pangalengan, melainkan lebih jauh dari itu, treknya akan diperpanjang hingga menuju Datar Mala dan finish di Cikalong kecamatan Cimaung. Sambil mengayuh sepeda semua pengalaman dan keindahan yang tadi sudah dilewati terus terbayang di benak di fikiran masing – masing.  Dan rencana trip selanjutnya seakan terpatri di hati kami ketika sepeda – sepeda kami meluncur turun menyusuri jalan aspal perkebunan Kertamanah menuju jalan raya Pangalengan yang mengantar kami pulang kembali menuju Bandung. 


Dimuat di HU Pikiran Rakyat edisi 10 November 2013