Selasa, 30 Juli 2013

NIGHT RIDING XC DI TREK CANTILAN – PASIR JEREGED

Setelah hampir menginjak minggu kedua di bulan ramadhan tahun 2013 ini saya melewatkan kesempatan untuk ber-night riding alias gowes malam – malam, akhirnya kesempatan itu datang juga pada hari ke 13 Ramadhan, saya kembali bisa merasakan nikmatnya sensasi bersepeda malam hari atau night riding/ NR. Seperti tahun – tahun sebelumnya, saya dan teman – teman komunitas sepeda ATB selalu melakukan NR dengan menempuh rute -  rute XC di seputaran Soreang Bandung Selatan, dan untuk rute NR kali ini kami akan menempuh rute klasik Cantilan – Pasir Jereged di kecamatan Kutawaringin. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi sajian tanjakannya dari sejak pertigaan Jalan Raya Soreang – Cipatik sampai puncak Bukit/ Pasir Jereged akan memberikan rasa berbeda karena gowes dilakukan dari sore hari sebelum berbuka sampai dengan malam hari. 

Jam 17 kami mulai beranjak dari jalan Kopo Sayati menuju Jalan Raya Soreang – Cipatik dengan mengambil jalur Cicukang – Kampung Adat Mahmud menuju Soreang – Cipatik di kampung Gajah Mekar. Gowes sambil menikmati cuaca sore hari yang cukup bersahabat membuat kami lupa sebenarnya kami masih berpuasa, kami memacu sepeda masing – masing, beberapa teman saling mempercepat laju sepedanya seolah berlomba, seakan terbawa suasana sore itu. Tiba di kampung Gajah Mekar waktu sudah menunjukkan pukul 17.15, kami kemudian berhenti sejenak membeli makanan untuk nanti berbuka puasa. Kami biasanya membawa bekal makanan untuk kemudian disantap ketika azan magrib tiba, di lokasi yang biasanya sudah kami tentukan sebelum perjalanan dimulai. Untuk kali ini kami berencana untuk berbuka puasa dan takjil di ujung gang/ trek semen kemudian makan malam di puncak Pasir Jereged sambil menikmati pemandangan kota Bandung malam hari.

Waktu semakin beranjak senja, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30, kami bergegas mengayuh sepeda masing menuju tujuan kami, puncak Pasir Jereged. Selepas berbelok kiri di dekat rumah makan Sate Cantilan kami sudah dihadang tanjakan “selamat datang”, biasanya kami tidak begitu kesulitan melewati tanjakan ini, tapi menggowes sepeda dalam kondisi berpuasa membuat kaki terasa sangat berat untuk mengayuh sepeda, alhasil dua tanjakan ini pun dilalui dengan ngos - ngosan. Lepas tanjakan - tanjakan tadi, sebelum menuju gang/ trek semen kembali tanjakan menghadang, lebih tinggi dari tanjakan “selamat datang” sebelumnya, semakin tersiksa saja kami melewatinya, gowesan semakin melambat, target untuk menunggu azan magrib di ujung gang/ trek semen sepertinya tidak akan tercapai. Di ujung tanjakan, trek semen menanti kami, jalur semen selebar kira – kira 1 m full menanjak sepanjang kira – kira 300 m siap menaklukkan kami. Kami tidak lama berhenti dan langsung masuk ke trek semen, berharap bisa mencapai ujung trek ini pas ketika waktu berbuka tiba. Tapi meskipun gowesan sudah dipercepat ternyata kami hanya mampu mencapai kira – kira setengah dari keseluruhan trek semen menanjak ini ketika azan magrib berkumandang. Kami menghentikan gowesan dan segera mencari tempat yang agak datar untuk berbuka puasa, berhubung kami berhenti di gang sempit selebar tidak lebih dari 1 m, akhirnya kami duduk saja di jalurnya, sebagian ada juga yang duduk – duduk di pematang sawah di pinggirannya untuk berbuka puasa. 

Buka bersama (foto by Agus Opin)

Tenggorokan yang sudah sangat kering, nafas yang terengah – engah, dan jantung berdebar kencang karena kami terus memacu sepeda sejak dari titik start  akhirnya segera terobati setelah beberapa teguk air mineral dan cendol dingin membasuh tenggorokan kering kami, Subhanallah…..nikmat sekali. Persis seperti sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa salah satu kenikmatan yang diraih ketika puasa adalah ketika saat berbuka puasa, saya dan teman – teman merasakan benar kenikmatan ini. Satu per satu gorengan yang kami bawa pun berpindah tempat ke perut masing – masing, sambil beristirahat dan mengembalikan stamina, karena kami masih akan menghadapi banyak tanjakan di depan, sementara trek semen menanjak ini saja baru separuhnya kami lalui. Sekitar 15 menit kami berhenti dan perjalanan pun kami lanjutkan, yang pertama dihadapi adalah separuh dari trek semen menanjak ini menuju kampung jereged, tujuan kami adalah sebuah masjid di sana, untuk menunaikan sholat magrib. Meskipun kami sudah berbuka puasa, tapi melewati trek semen menanjak ini dan dilanjutkan dengan sedikit lagi tanjakan menuju lokasi mesjid tetap saja membuat kami terengah – engah, 10 menit kemudian kami pun  tiba di mesjid kampung Jereged. 

Mesjid

Pukul 18.45 kami beranjak meninggalkan mesjid menuju ¼ perjalanan lagi menuju puncak Pasir Jereged. Hari sudah beranjak gelap, senter – senter sudah dinyalakan dan sepeda pun kembali dikayuh melintasi trek semen menuju singel trek, dan sekitar 50 m di depan kami adalah singel trek menuju puncak. Malam yang semakin pekat dan kondisi singel trek yang jauh dari pemukiman warga membuat perjalanan menuju puncak menawarkan tantangan tersendiri, namun untuk keamanan dan keselamatan bersama kami pun memutuskan untuk menuntun sepeda masing – masing melewati singel trek menanjak ini. Kami pun merayap menembus kegelapan di antara rimbunnya rumpun – rumpun bambu dan rerimbunan alang – alang ketika semakin mendekati puncak, sangat mengasyikkan. Ada rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata – kata ketika kami melewatinya, padahal trek ini sudah sangat sering kami lalui, tapi melaluinya di tengah kegelapan malam benar – benar memberikan rasa tersendiri. Setelah melewati hamparan ilalang yang cukup tinggi sampailah kami di sebuah dataran, tinggal satu tanjakan lagi untuk menuju puncak Pasir Jereged, menuju sebuah lokasi yang akan kami gunakan untuk bersantap, makan malam sambil menikmati keindahan kota Bandung di malam hari.










ada yang ingin ikutan NR juga kayanya

Pukul 19.20 tibalah kami kami di puncak Pasir Jereged, kami langsung disuguhi pemandangan gemerlap lampu – lampu di hadapan kami, gemerlap kota Bandung di malam hari yang semarak dengan lampu – lampu seperti intan berkilauan, sesekali tampak cahaya berpendar dari ledakan kembang api di beberapa titik, semakin menambah keindahan yang tersaji tepat di hadapan kami. Bekal makan malam pun kami siapkan dan segera kami menyantap hidangan makan malam yang tadi kami beli di kampung Gajah Mekar, nikmat sekali makan di tengah hamparan gemerlap dan semarak lampu – lampu kota Bandung di bawah kami, meskipun beberapa saat gerimis sempat membasahi kami, tapi itu tidak cukup kuat untuk membuat kami beranjak meninggalkan semua kenikmatan yang sedang kami nikmati saat itu.



Makan malam sambil menikmati indahnya kota Bandung malam hari




Tidak terasa 1 jam lebih kami berada di tempat itu. Angin yang mulai bertiup kencang dan udara yang semakin dingin seakan membangunkan kami, menyuruh kami untuk segera kembali pulang. Berat rasanya meninggalkan Pasir Jereged yang damai ini, tapi kami harus pulang. Suguhan singel trek plus trek semen yang sekarang akan kami turuni akhirnya membuat kami satu per satu menaiki kembali sepeda masing – masing dan meluncur turun, kembali melewati jalur yang tadi kami lalui. Sebenarnya dari lokasi ini ada beberapa opsi trek untuk pulang. Bisa melewati singel trek menuju kampung Cibodas atau singel trek menuju kampung Jatisari, tapi kami lebih memilih untuk kembali melalui jalur yang tadi kami  lewati, dengan alasan biar bisa finish lebih cepat saja, biar kami tidak terlalu malam sampai ke rumah masing – masing.

Ternyata tidak mudah mengendalikan sepeda menuruni singel trek di tengah kegelapan malam, butuh konsentrasi tinggi untuk melewatinya, seorang teman yang tidak bisa mengendalikan sepedanya harus merasakan jatuh dan terjerembab karena tidak melihat batu lepas dan roda depannya menginjak batu tersebut. Saya pun mengalami nasib naas, roda sepeda saya pun menginjak batu lepas, alhasil saya dan sepeda saya pun terjatuh. Dalam hati saya bersyukur pulang tidak jadi mengambil opsi menuju Cibodas atau Jatisari, saya sudah bisa membayangkan kesulitan yang akan menghadang, karena kami akan mengadapi singel trek menurun yang cukup panjang,terutama apabila melewati rute singel trek Jatisari yang kondisi treknya terhitung masih alami, banyak pepohonan dan perdu merintangi jalurnya, melewati jalur ini di siang haripun harus ekstra waspada karena treknya yang tertutup pepohonan dan rerumputan, apalagi ketika harus melewatinya di tengah pekatnya malam seperti saat ini.

Lepas dari singel trek kami memasuki gang/ trek semen, jalur yang biasanya dengan mudah kami lewati sekarang harus kami lewati dengan hati – hati dan perlahan. Kami tidak berani terlalu memacu sepeda terlalu kencang, konsekuensinya lumayan apabila kami sampai terjatuh. Di samping kiri dan kanan kami adalah saluran air dan persawahan yang jarak dari permukaan jalan ke dasarnya cukup dalam. Namun karena melewatinya pada malam hari, meskipun laju sepeda tidak terlalu kencang namun tetap mengasyikkan melahap gang/ trek semen ini sampai akhir. Dan 15 menit kemudian sampailah kami di pertigaan jalan raya Cipatik – Soreang. Dan rute pulang dari sini kami sengaja tidak melalui jalur yang tadi dilewati ketika pergi, tapi sedikit memutar menuju kampung Daraulin, sedikit memberikan kejutan bagi beberapa teman yang belum pernah merasakan mengayuh sepeda melalui jembatan gantung. Di daerah Daraulin ini terdapat jembatan gantung beralas kayu yang membentang di aliran sungai Citarum Lama, seru juga ketika kami digoyang – goyang jembatan ini ketika melewatinya. Dari kampung Daraulin perjalanan dilanjutkan ke Kampung Adat Mahmud untuk kemudian menuju jalan Kopo dan kembali ke rumah masing – masing membawa sejuta kesan tidak terlupakan setelah ber-night riding dengan ber-XC ria malam – malam.

Minggu, 14 Juli 2013

MENAKLUKKAN TANJAKAN – TANJAKAN LEUWEUNG DATAR, SALAH SATU TREK UPHILL LEGENDARIS BANDUNG

Kawasan Bandung Raya yang dikelilingi perbukitan menyajikan berpuluh-puluh trek uphill/ tanjakan yang sangat menggoda dan sangat sayang untuk dilewatkan para goweser pencinta tanjakan atau uphiller. Hampir di seluruh penjuru kota Bandung tercinta ini memiliki setidaknya dua trek uphill yang menantang. Kalau boleh menyebut, dimulai dari kawasan Bandung Utara, kita mengenal trek Ciumbuleuit – Punclut – Lembang, trek Tangkuban Parahu yang sampai saat ini masih menjadi rute legendaris balap sepeda spesialis tanjakan, atau jalur Dago Bengkok – Lembang, trek Warban yang sudah sangat dikenal para goweser. Bergeser ke Bandung Timur kita mengenal Caringin Tilu, Jatihandap – Warung Daweung, dan Palintang. Kita juga tidak boleh melupakan trek Curug Cinulang – Kawasan Konservasi Gunung Masigit Kareumbi, yang meskipun secara administratif berada di kabupaten Sumedang, tapi akses menuju ke sana yang cukup dekat dari Bandung. Di sebelah tenggara kita mengenal trek Cijapati, kemudian trek Majalaya – Kamojang dengan tanjakan Montengnya yang sudah sangat melegenda di kalangan goweser. Kita juga tidak boleh  melewatkan trek Ciparay – Situ Cisanti, Jelekong Cangkring – Arjasari, Banjaran – Gunung Puntang, Pangalengan, Ciwidey -  Kawah Putih, Leuweung Datar, Sadu – Buper Andes, Puncak Mulya,  Cililin -  Walahir, atau Cimahi - Cisarua, semua itu adalah trek – trek uphill yang sudah sangat dikenal di kalangan goweser. Dan satu lagi trek uphil legendaris yang akan saya coba angkat adalah trek Leuweung Datar.

Trek Leuweung Datar dimulai dari pertigaan Citaliktik – Banda Sari di jalan raya Soreang – Banjaran dekat Mapolres, di ketinggian sekitar 700 mdpl, titik tertinggi dari trek ini berada di tanjakan Gunung Bubut dengan ketinggian sekitar 1.240 mdpl, elevasi dari titik start sampai titik tertingginya ±535 m dengan jarak 8 km, sangat menantang. Dari ujung titik tertinggi trek Leuweung Datar ini, kita ditawarkan dua pilihan titik finish, yaitu di Cisondari Pasir Jambu atau desa Sukanagara Panyirapan Soreang, pemandangannya cukup memanjakan mata, meskipun jarak tempuh menuju Cisondari Pasir Jambu lebih jauh karena harus memutar dulu ke Ciwidey, sedangkan turun melalui Panyirapan jelas lebih dekat karena kita langsung menuju kota Soreang.

Bagi goweser yang ingin mencicipi jalur ini ada beberapa alternatif jalan untuk menuju titik start di jalan Banda Asri Citaliktik. Yang pertama melalui jalan Kopo – Soreang, masuk ke jalan Warung Lobak – Gandasoli yang tembus langsung ke jalan raya Soreang – Banjaran di kampung Citaliktik, dari ujung jalan Gandasoli kita tinggal menyeberang dan langsung masuk ke jalan Citaliktik – Banda Asri. Yang kedua bisa melalui jalan raya Dayeuhkolot – Banjaran, terus masuk ke jalan raya Banjaran -  Soreang dan di daerah Citaliktik langsung belok kiri menuju jalan Citaliktik – Banda Asri. Untuk yang ingin menempuh jalan yang relatif lebih sepi bisa mengambil jalur Cibaduyut – Sayuran, masuk ke jalan Bojong Kunci – Junti yang tembus ke Gandasoli, dari sana tinggal lurus mengikuti jalur yang dari Warung Lobak.

Jalan Citaliktik-Banda Asri

Titik awal trek ini sendiri dimulai dari jalan Citaliktik - Banda Asri dengan menyusuri jalan beton mulus membelah persawahan ke arah selatan, setelah ± 10 menit mengayuh sepeda, kita akan bertemu perempatan. Arah timur menuju kampung Ciluncat, ke barat menuju Panyirapan dan jalur yang akan kita tuju adalah ke arah kanan menuju jalan komplek Banda Asri. Perjalanan menuju ke komplek Banda Asri sudah mulai dihiasi tanjakan – tanjakan landai, lumayan sebagai pemanasan dan mempersiapkan kondisi fisik kita sebelum menghadapi ujian sebenarnya dari trek ini, yaitu rute komplek Banda Asri menuju Gunung Bubut kampung Leuweung Datar. Setelah 10 menit pedal dikayuh, sampailah kita di pertigaan komplek Banda Asri, dan jalan yang akan kita tempuh adalah belokan ke kiri. Dan tak berapa lama kemudian, tampak sebuah tanjakan menghadang dengan kondisi jalan tidak begitu bagus, rupanya ini adalah “tanjakan selamat datang”, menapaki tanjakan ini barulah mulai terasa nafas menjadi agak tersengal-sengal. Agak panjang juga ternyata tanjakan ini, untungnya selepas belokan di ujung tanjakan kondisi jalan menjadi lebih bersahabat, meskipun ternyata tanjakan ini masih belum berakhir. 



Pertigaan Komplek Banda Asri

Tanjakan "selamat datang"





10 menit berlalu, ternyata jalan menanjak ini masih berlanjut, namun jalan yang mulus memudahkan kaki mengayuh pedal sepeda, meskipun harus tetap dengan nafas tersengal dan diiringi cucuran keringat untuk melaluinya. Ternyata membutuhkan waktu 1 jam lebih untuk mencapai ujung tanjakan ini, padahal jarak yang ditempuh tidak lebih dari 2 km.  Akhirnya sampai juga di kampung Leuweung Datar. Pertama yang dicari di sini adalah warung, karena sejak dari Citaliktik belum sempat sarapan, sehingga ketika sampai di sinilah kesempatan saya dan teman -teman untuk mengisi perut sekaligus mengatur nafas dan mengembalikan stamina yang sudah agak berkurang, mengingat yang akan dihadapi di depan adalah 4 rangkaian tanjakan yang menjadi ciri khas dan inti dari trek ini, keempat tanjakan ini secara berturut – turut yaitu tanjakan Rahong, tanjakan Omen, tanjakan Koneng dan yang terakhir adalah tanjakan Gunung Bubut. Di sini juga saya membeli tambahan bekal cemilan dan air minum, mengantisipasi kehabisan bekal, terutama air minum sementara jarak menuju desa terdekat masih jauh.

Setelah stamina terkumpul satu per satu sepeda kembali dikayuh menyongsong tantangan terberat dari trek ini, empat tanjakan sudah siap menyambut kami, menantang kami apakah kami akan mampu melewatinya dengan sukses, tanpa “TTB/ tuntun bike” tentu saja. Selepas perkampungan, di ujung sebuah jembatan kecil, sudah menanti satu tanjakan curam, itulah rupanya tanjakan Rahong, meskipun tidak mudah, tapi tanjakan ini masih bisa dilalui tanpa TTB berhubung kondisi jalan yang masih relatif mulus dan badan masih segar karena sebelumnya kami telah beristirahat. Namun setelah menempuh sekitar 200 m jalan yang datar, kami bertemu lagi dengan satu tanjakan curam yang dikenal dengan tanjakan Omen, tanjakannya lebih panjang dari tanjakan Rahong plus kondisi jalan yang buruk menjadi tantangan dan hambatan tersendiri yang harus dihadapi selain curamnya tanjakan itu sendiri. Saya coba menaklukkannya, namun seperti perkiraan sebelumnya, kondisi jalan yang buruk mempersulit sepeda untuk dikendalikan, baru setengah tanjakan saya pun menyerah, sulit sekali mengayuh pedal sepeda melintasi kerikil – kerikil lepas di jalan menanjak, ban kehilangan traksi dan selip, akhirnya kakipun menyentuh tanah. Tapi saya tidak mau menyerah begitu saja, setelah mengumpulkan tenaga dan mempelajari jalur yang akan dilalui tanpa harus mengalami selip lagi, pedal pun dikayuh kembali, semua tenaga dikeluarkan, menjaga kayuhan dan handling agar stabil, dan akhirnya bisa juga menaklukkan tanjakan ini, meskipun harus 2 kali berhenti. Sedikit sebelum ujung tanjakan ini adalah sebuah belokan tajam, dan tepat di muka belokan ini ada dataran agak luas, di sinilah kami berhenti dan menyaksikan teman - teman yang sedang berjuang berjibaku menaklukkan tanjakan Omen. Di sini kami kembali mengatur nafas, tersisa 2 tanjakan lagi untuk bisa menaklukkan trek ini, setelah 30 menit kami beristirahat dan regrouping, perjalanan pun kembali dilanjutkan.




Tanjakan Rahong

Berjibaku di Tanjakan Omen


Berjibaku di Tanjakan Omen

Berjibaku di Tanjakan Omen

Tanjakan Omen

Selepas belokan tajam menuju ujung tanjakan Omen, kondisi jalan menjadi semakin buruk, nyaris tidak ada lagi aspal tersisa, hanya hamparan kerikil – kerikil lepas sepanjang jalan menanjak menuju tanjakan Koneng, tanjakan yang harus kami hadapi berikutnya. Mengayuh sepeda menyusuri jalan ini pun sudah cukup menyiksa, belum lagi kami masih akan berhadapan dengan tanjakan Koneng, tanjakan ketiga. Benar saja, penderitaan kami belum berakhir, kondisi tanjakan Koneng selain curam juga setengah dari tanjakan ini kondisi jalannya buruk, sama seperti tanjakan Omen tadi, kami akhirnya memilih untuk menuntun sepeda kami melewati jalan yang buruk ini, sampai ke pertengahan tanjakan Koneng, karena dari pertengahan sampai ke ujung tanjakan ini kondisi jalan kembali mulus. Tapi ternyata stamina yang kembali terkuras setelah melewati 2 tanjakan sebelumnya menjadi tantangan tersendiri lagi untuk menaklukkannya, beberapa teman ada yang mencoba menaklukkan tanjakan ini dengan mengendarai sepedanya, namun ada pula beberapa teman yang memilih untuk TTB saja menuju ujung tanjakan Koneng. 



Disambut jalan rusak menuju Tanjakan Koneng




TTB bersama di Tanjakan Koneng

Tanjakan Koneng


Di ujung tanjakan Koneng sudah terlihat tanjakan terakhir, tanjakan Gunung Bubut siap menghadang. Kami pun beristirahat di bibir tanjakan Gunung Bubut, mengatur nafas yang tersengal - sengal dan mengumpulkan tenaga untuk menaklukkan tanjakan terakhir ini. Beberapa teman yang sudah berpengalaman bersepeda sudah dari tadi sampai di ujung tanjakan ini, menunggu dan siap mengabadikan momen – momen kami yang tengah berjuang sambil tertatih – tatih disiksa tanjakan Gunung Bubut. Dengan 1 kali berhenti di tengah - tengah tanjakan dan dengan nafas yang semakin tersengal saya berhasil juga sampai di ujung tanjakan, dan 10 menit kemudian teman - teman yang memilih TTB menyusul kami yang sudah tiba lebih dulu di ujung tanjakan Gunung Bubut, tanjakan terakhir di trek Leuweung Datar ini. Di ujung tanjakan gunung bubut tidak terlalu banyak view yang bisa dinikmati, hanya sedikit pemandangan ke arah timur lumayan bisa mengobati rasa lelah menuntaskan rute menanjak ini. Bagi yang ingin mendapatkan pemandangan menarik, perjalanan bisa dilanjutkan menuju Pasir Jambu Ciwidey, selepas tanjakan terakhir ini akan tersaji pemandangan indah pesawahan, perbukitan, dan pemukiman-pemukiman di kawasan Baleendah, Banjaran, Dayeuhkolot dan sekitarnya di sebelah kiri kita, dan di sebelah kanan kita tersaji pemandangan alam kota Ciwidey. 




Tanjakan Gn Bubut



Foto bersama di ujung tanjakan Gn Bubut

Setelah semua berkumpul perjalanan dilanjutkan kembali, tidak menuju Pasir Jambu Ciwidey tetapi menuju desa Sukanagara Soreang, untuk mempersingkat jarak dan waktu tempuh berhubung sebagian besar dari kami tidak berencana untuk bersepeda fullday saat itu. Setelah disambut dengan satu tanjakan perjalanan diakhiri dengan turunan sepenuhnya, mulai dari turunan makadam dari gunung bubut sampai desa Sukanagara sejauh kurang lebih 2 km, dan dilanjut dengan turunan di jalanan aspal mulus menuju desa Panyirapan Soreang sebagai titik finish dari trip menantang ini. 








Dan selama perjalanan pulang terselip perasaan puas karena akhirnya saya dan teman-teman bisa juga menjajal salah satu trek uphill legendaris di Bandung ini, trek Leuweung Datar.


Dimuat di HU Pikiran Rakyat edisi 15 September 2013