Kamis, 21 November 2013

GOWES PIKNIK TREK KERTAMANAH -CURUG PANGANTEN-CINYIRUAN

Sekali lagi Pangalengan menawarkan trek XC yang sangat menarik dan menantang, lokasinya masih di sekitar perkebunan Kertamanah . Untuk gowes kali ini kami akan mencoba trek Kertamanah -Artavella kemudian dilanjutkan piknik ke Curug Panganten dan finish di kampung Cinyiruan perkebunan Kertamanah. Salah satu sesi acara dari gowes kali ini adalah piknik sekaligus botram atau makan bersama di area Curug Panganten sebelum kemudian meluncur menuruni perbukitan dari Artavella sampai Cinyiruan. Trip kali ini merupakan kombinasi dari trek Artavella-Campaka, dan dilanjutkan dengan menyusuri singel trek Campaka-Cinyiruan yang merupakan bagian dari trek XC Kertamanah-Bojongwaru yang sudah pernah saya bahas sebelumnya. Sudah terbayang keasyikan yang akan kami dapatkan dari trip kali ini, sebelumnya kami pernah mencoba trek Kertamanah -Bojongwaru yang memiliki turunan-turunan menantang,dan kali ini trek ini akan disatukan dengan trek Artavella yang posisinya lebih tinggi dari Kertamanah yang baru pertama kali kami coba. Bisa dibayangkan keasyikan yang akan didapatkan ketika sepeda-sepeda kami meluncur menuruni perbukitan dari ketinggian ±1960 mdpl menuju ketinggian ±1550 mdpl.

Seperti biasa kami berangkat pagi - pagi dari Bandung, sepeda kami loading dengan menggunakan 1 unit truk. Sampai di penangkaran rusa Kertamanah sekitar pukul 9.15 dan sepeda kami turunkan di sini, kami berencana untuk mulai menggowes dari sini menuju Artavella sejauh kurang lebih 5 km. setelah mempersiapkan sepeda masing-masing dan menyantap cemilan sekedar untuk mengganjal perut dan menambah stamina, kami pun memulai perjalanan menuju Artavella dengan menempuh jalur Campaka menuju titik pemberhentian pertama di daerah kampung Cibitung. Jarak dari Campaka ke kampung Cibitung kurang lebih 2 km, berupa jalan makadam dan tanjakan-tanjakan landai, kami masih bisa menikmati perjalanan ini, meskipun tetap saja membuat nafas menjadi lebih cepat dan jantung berdetak lebih kencang, lumayan sebagai pemanasan.


Titik start di kampung Campaka

Jalan makadam menanjak menuju kampung Cibitung

Sebenarnya selain melewati Campaka, jalur menuju kampung Cibitung  bisa juga ditempuh melalui jalur PLTP Wayang - Windu yang kondisi jalannya beraspal dan relatif masih mulus, hanya saja melewati jalur ini jalan yang dilalui sedikit memutar dan lebih banyak dihiasi tanjakan-tanjakan. Dengan mengambil jalur Campaka maka tenaga bisa dihemat karena  mulai dari kampung Cibitung -lah baru akan ditemui tanjakan – tanjakan yang lebih berat menuju Artavella. Ujung dari jalur makadam ini adalah sebuah perempatan yang lokasinya berada di atas kampung Cibitung , yang juga menjadi pertemuan dengan jalur dari PLTP Wayang – Windu. Mulai dari sini kondisi jalan menjadi beraspal, dengan kerusakan di beberapa bagiannya, sedikit memudahkan kami untuk mengendalikan sepeda. Namun ternyata mulai dari sini tanjakan yang dijumpai mulai terasa lebih berat.


Jalan menanjak selepas pertigaan kampung Cibitung





Hari semakin terik, mengayuh pedal di jalan menanjak di ketinggian lebih dari 1600 mdpl benar – benar menyiksa. Gowesan terasa sangat lambat dan berat, ditambah dengan gersangnya kondisi di sekitar jalur yang dilalui, hampir tidak ditemui tegakan pepohonan rindang yang memayungi kami, benar – benar menjadi ujian fisik dan mental untuk melaluinya. Dengan sendirinya rombongan kami terbagi menjadi 3 grup, grup yang berada paling depan adalah teman – teman yang memiliki stamina prima, mereka mengayuh pedal sepeda dengan stabil, kecepatan konstan dan tanpa istirahat  meskipun di jalan menanjak. Grup kedua yang berada di tengah adalah yang stamina dan kondisi fisiknya pas – pasan namun masih berusaha mengayuh pedal melewati jalur ini, dan sebisa mungkin tanpa TTB, meskipun akhirnya setiap sehabis melewati satu tanjakan harus berhenti untuk mengatur nafas dan mengistirahatkan otot – otot kaki yang mulai menegang, untuk kemudian kembali mengayuh sepedanya melanjutkan perjalanan, slogan penyemangat yang biasa dipakai adalah “biar lambat asal tidak TTB”. Sedang grup yang terakhir adalah teman – teman yang lebih memilih untuk sepenuhnya ber-TTB, menuntun sepeda – sepeda mereka. Sebagian ada yang memang sudah kehabisan tenaga sejak memasuki jalan aspal di Cibitung  tadi, atau ada juga yang TTB karena sepeda – sepeda mereka berspesifikasi FR yang akan membuat pengendaranya sangat tersiksa apabila mencoba mengendarai sepedanya di jalur aspal menanjak ini. Namun yang harus diapresiasi dari grup ketiga ini adalah mental dan semangat mereka yang kuat untuk terus melanjutkan perjalanan meskipun harus bersusah payah menuntun sepeda, dan menjadi yang paling lambat di antara rombongan ini. Tidak terasa jarak Kertamanah  – Artavella yang “hanya” 5 km harus ditempuh selama 2 jam, karena sepanjang jalan yang dilalui adalah tanjakan – tanjakan yang nyaris tanpa jeda yang akhirnya membuat waktu tempuhnya menjadi sedemikian lama.

Jalan menanjak menuju Artavella

Titik pemberhentian kami berikutnya adalah Artavella di ketinggian ±1960 mdpl, tempat ini adalah sebuah pertigaan yang salah satu jalurnya menuju ke Curug Panganten. Di kawasan ini pula jalan aspal berakhir, di sebuah sumur sumber gas bumi PLTP Wayang – Windu. Sekitar pukul 12 sampailah kami di Artavella, dari pertigaan ini kami menuju ke arah utara untuk beristirahat sejenak di sebuah warung kecil yang berada di tengah – tengah ladang sayuran dan tegakan pohon – pohon Eukaliptus. Warung ini menjadi tempat beristirahat dan menjadi penyedia kebutuhan para petani penggarap seperti rokok, minuman ringan, makanan kecil dan sebagainya selagi mereka bekerja di sekitar sini. Kami pun beristirahat di warung ini, menyantap makanan kecil dan cemilan untuk mengembalikan stamina yang terkuras selama perjalanan dari Kertamanah  tadi. Setelah beristirahat sekitar 45 menit kami pun melanjutkan sisa perjalanan menuju Curug Panganten. Jalur yang harus ditempuh adalah sebuah singel trek menurun di tengah – tengah ladang, di ujung turunan sana jalur terlihat menanjak sampai ke batas hutan. Setelah sedikit menghibur diri dengan meluncur di turunan yang tidak terlalu panjang itu sampailah kami di sebuah jembatan kecil di ujung turunan tadi, dan di depan kami adalah sebuah singel trek menanjak di tengah ladang sayuran dan kemudian disambung dengan hamparan lahan bukaan yang kelihatannya belum lama diolah dari hutan tak lama lagi akan menjelma menjadi ladang - ladang sayuran. 


Menuju Warung di daerah Artavella

Warung Artavella

Singel trek menuju Curug  Panganten

Melihat dari kondisinya tidak memungkinkan untuk mengendarai sepeda melewatinya, akhirnya kami semua pun menuntun sepeda masing – masing merayapinya, dan setelah bersusah payah melewati ladang dan kemudian menuju ke lahan bukaan bertanah gembur yang menyulitkan kaki untuk melangkah, pukul 13 akhirnya sampai juga kami di batas hutan yang ditandai oleh pagar memanjang yang memisahkan kawasan hutan dan lahan bukaan. Batas hutan ini berada di sebuah punggungan, ini berarti perjalanan kami berikutnya menuju curug untuk sementara tidak akan menemukan tanjakan-tanjakan, namun trek yang sempit karena berada di pinggir jurang tidak memungkinkan untuk membawa sepeda sampai ke lokasi curug, kami pun memutuskan untuk menyimpan sepeda di batas hutan.  Setelah memastikan sepeda dalam posisi aman kami pun melanjutkan perjalanan menuju lokasi curug. Singel trek menuju lokasi curug selain sempit juga licin karena memang curug ini cukup tersembunyi di tengah hutan sehingga tidak begitu banyak orang yang mengetahui keberadaan Curug Panganten ini, membuat lokasi di sekitarnya pun masih asri dan terjaga kealamiannya. 


Menyusuri lahan bukaan menuju batas hutan


Menuju batas hutan


Bergaya di tempat penyimpanan sepeda

Trek yang masih sangat alami menuju lokasi curug



Setelah berjalan meniti singel trek sempit dan licin kurang lebih 100 m, sampailah kami di sebuah belokan, sampai di belokan ini suara gemuruh air terjun belum terdengar, baru lah setelah kami melewati punggungan kecil gemuruh suara air terjun terdengar, tak lama kemudian di hadapan kami tampaklah 2 curug kembar berdampingan setinggi ± 30 m, itulah Curug Panganten, indah sekali. Airnya yang deras namun jernih menimbulkan semburan angin bercampur dengan uap - uap air yang membasahi tubuh kami. Sejenak awan tersibak dan matahari menyinari curug ini, seketika itu pula selarik pelangi muncul di hadapan kami, dahsyat..!! Semua rasa lelah hilang berganti rasa takjub dan gembira menyaksikan sajian alam yang menakjubkan di hadapan kami. Beberapa teman spontan menjerit bahagia mengekspresikan rasa hati mereka mendapati semua keindahan ini. 


Curug Panganten



Segera kami mendekati curug, mengambil posisi terbagus dan kemudian berfoto – foto mengabadikan keindahan Curug Panganten ini. Namun kami tidak sempat berenang disini, meskipun saat itu air curug tidak begitu besar membuat air curug cukup jernih, karena berhubung hari yang sudah semakin siang sementara perjalanan kami masih cukup jauh. Juga posisi Curug Panganten yang berada di ketinggian lebih dari 2000 mdpl membuat suhu di sekitar sini cukup dingin, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 14.00 wib. Kami pun segera menuju acara utama kami yang sudah direncanakan yaitu botram alias makan bersama. Kami mengambil spot di sebuah tempat yang agak lapang, di balik sebuah belokan supaya ketika kami makan kami tidak akan kebasahan terkena terpaan uap air curug. Perut yang sejak dari tadi meminta untuk diisi akhirnya bisa mendapatkan bagiannya, kami segera membuka dan memakan perbekalan yang kami bawa. Nikmat sekali menyantap makanan ketika rasa lapar sudah mencapai puncaknya sambil diiringi deru air terjun Curug Panganten, sempurna. Beberapa teman segera memanaskan air dan membuat teh dan kopi, semakin terasa sempurna suasana botram saat itu, beristirahat setelah perut kenyang terisi sambil menikmati indahnya Curug Panganten dengan ditemani segelas teh panas. Tidak terasa 1 jam lebih kami berada di tempat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 15, kami harus segera meninggalkan Curug Panganten karena kami masih harus menuntaskan sisa perjalanan trip ini menuju titik finish di kampung Cinyiruan.



Foto bersama di depan Curug Panganten

Suasana botram/ makan bersama di dekat curug

Meluncur turun di lahan bukaan selepas batas hutan




Kami pun kembali berjalan menyusuri singel trek menuju batas hutan ke tempat sepeda  diparkir, segera mempersiapkan sepeda masing – masing dan sepeda pun melaju membelah lahan – lahan bukaan dan ladang – ladang sayuran menuju Artavella. Setelah regrouping  kami pun segera meluncur meninggalkan Artavella untuk menjemput kejutan – kejutan yang akan kami jumpai di trek menurun di depan. Seperti sudah disebutkan di atas, posisi Artavella berada di ketinggian ±1960 mdpl dan perjalanan akan menuju kampung Cinyiruan di ketinggian ±1550 mdpl, meluncur turun di sepanjang singel trek membelah ladang – ladang sayur dan perkebunan teh dengan elevasi ± 400 m pasti akan memberikan sensasi yang luar biasa, apalagi buat para pencinta downhill dengan sepeda FR-nya yang sejak dari kampung Cibitung sudah harus menuntun sepedanya, sekaranglah saatnya bagi mereka untuk “membalas dendam”. Dari pertigaan Artavella kami menuju ke arah timur menuju ujung jalan aspal di sebuah sumur gas milik PLTP Wayang – Windu, dari sana mulai masuk singel trek, dan selepas sumur gas tersebut terbentanglah singel trek meliuk – liuk menuruni perbukitan di bawah kami, berlatar ladang sayuran dan perkebunan teh.  kota Pangalengan dan Situ Cileunca di kejauhan terlihat seakan dibentengi oleh deretan pegunungan kawasan Cagar Alam Gunung Tilu. Sejenak kami berhenti untuk mengabadikan pemandangan menakjubkan ini, dan selanjutnya kami pun memacu sepeda masing – masing menuruni singel trek yang masih terhitung mulus ini. Turunan pertama yang kami hadapi adalah sebuah turunan yang cukup curam dan panjang, kami menamainya “Turunan 45” , karena tingkat kemiringannya yang ekstrem, juga karena di sini kami diharuskan untuk memiliki “semangat 45” untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus. Beberapa teman sukses menuruninya, terutama mereka yang mengendarai sepeda AM dan FR. Saya dan teman – teman yang bersepeda XC dengan travel fork maksimal 120 mm pun tidak mau ketinggalan untuk bisa melewati turunan ini dengan mulus walaupun kami harus dengan berhati – hati ekstra konsentrasi. Beberapa teman ada yang gagal dan terjatuh ketika melewatinya, namun semua tetap gembira 

Singel trek menyusuri sumur gas bumi PLTP Wayang Windu

Turunan menantang 

Turunan 45


Turunan 45

Di turunan ini sebagian dari kami memang masih belum bisa menikmatinya, mungkin masih beradaptasi. Tapi di turunan – turunan berikutnyalah kami semua bisa sepenuhnya menikmati sajian trek menurun ini. Setelah menyeberangi sebuah sungai kecil sampailah kami di sebuah turunan panjang yang cukup landai, bebas monorail dan cukup lebar pula, kurang lebih 1m lebarnya. Di sinilah kami benar – benar bersenang – senang mengendarai sepeda yang melaju kencang, melibas belokan – belokan yang membentuk berm – berm  alami, juga melakukan jump  di dropoff yang juga terbentuk secara alami. Tidak terasa sampailah kami di sebuah persimpangan, ini adalah titik awal dari Trek XC Kertamanah-Bojongwaru yang sudah pernah saya bahas sebelumnya. Jadi mulai dari sini kami akan menyusuri trek Kertamanah  – Bojongwaru, yang masih dihiasi turunan – turunan menantang dan mengasyikkan meskipun di beberapa bagian ada dihiasi tanjakan – tanjakan. Namun karena pertimbangan waktu yang sudah beranjak sore (sekitar pukul 15.30 kami tiba di persimpangan ini) maka diputuskanlah kami akan menyusuri separuh atau ½ bagian dari trek Kertamanah  – Bojongwaru ini dan akan mengambil titik finish di Makam Belanda Gerard Alfred Cup kemudian turun menuju kampung Cinyiruan. 



Turunan menantang selepas turunan 45

Menuju Persimpangan trek Kertamanah - Bojongwaru

Kembali kami mengayuh pedal mengarah ke timur menuju turunan di sebuah lembah, dan satu per satu sepeda meluncur turun menuju ujung turunan yang berupa sungai kecil, dan seperti biasa, sebuah turunan di lembah yang diakhiri sebuah sungai, pastilah kita akan berhadapan dengan tanjakan, begitu pula di sini, kami sekarang berhadapan dengan sebuah tanjakan yang akan membawa kami menuju jalan aspal untuk kemudian nanti kembali masuk ke singel trek “walungan saat”. Di persimpangan tadi kami berada di ketinggian ±1550 mdpl, dan kami akan menyusuri singel trek disambung dengan jalan aspal menanjak ini menuju ketinggian ±1750 mdpl, untuk kemudian turun lagi ke kampung cinyiruan di ketinggian ±1500 mdpl. Lumayan setelah berjibaku dengan tanjakan yang cukup melelahkan ini kami akan mendapatkan bonus turunan panjang di trek “walungan saat” sampai ke makam Mr. Cup. Tiba di persimpangan menuju trek “walungan saat” kembali kami beristirahat mengatur nafas sekaligus menunggu teman – teman yang masih berjuang mengayuh pedalnya menuju ke sini. 












Masuk jalan aspal menanjak menuju trek "walungan saat"


Menanjak menuju trek "walungan saat"

Beristirahat sambil regrouping di awal trek
"walungan saat" - makam Mr. Cup

Di sini kami beristirahat sambil menikmati pemandangan perkebunan teh yang menakjubkan, cukup untuk sedikit mengembalikan stamina. Setelah regrouping kami pun satu per satu mulai menuruni trek “walungan saat” yang diawali dengan “pumping track” atau trek yang berupa gundukan – gundukan kecil, enak sekali melewatinya, apalagi dengan sepeda yang bersuspensi mumpuni. Selepas ini singel trek berubah sedikit mulus dengan hiasan 1 belokan tajam membentuk berm, nikmat sekali melewati turunan berbelok ini, dan setelah ini barulah kami melewati singel trek yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan sungai kering, banyak batu – batu besar juga cerukan – cerukan dalam, karena itulah trek ini dinamai “walungan saat” yang dalam bahasa indonesia berarti sungai yang kering. Dari sini disambung kembali dengan turunan yang cukup landai dan agak lebar dihiasi rerumputan yang merupakan sajian penutup dari trip kali ini, di sini kami  memacu sepeda sambil tetap waspada dan konsentrasi karena di beberapa bagian terdapat batu – batu lumayan besar yang tertutup rerumputan. 






Trek "walungan saat"

Titik finish di makam Mr. Cup

Menuju kampung Cinyiruan

Akhirnya sekitar pukul 16.30 sore sampailah kami di makam belanda Mr. Cup, dan setelah semua berkumpul kami pun masuk ke jalan makadam menurun menuju kampung Cinyiruan. Ada sedikit rasa penasaran karena masih banyak turunan menantang apabila kami melanjutkan trip ini hingga kampung Bojongwaru. Tapi tidak apa – apa, karena kami sudah berencana akan mencoba sekali lagi trip ini, start  dari Artavella dan  finish bukan di Bojongwaru pangalengan, melainkan lebih jauh dari itu, treknya akan diperpanjang hingga menuju Datar Mala dan finish di Cikalong kecamatan Cimaung. Sambil mengayuh sepeda semua pengalaman dan keindahan yang tadi sudah dilewati terus terbayang di benak di fikiran masing – masing.  Dan rencana trip selanjutnya seakan terpatri di hati kami ketika sepeda – sepeda kami meluncur turun menyusuri jalan aspal perkebunan Kertamanah menuju jalan raya Pangalengan yang mengantar kami pulang kembali menuju Bandung. 


Dimuat di HU Pikiran Rakyat edisi 10 November 2013

Selasa, 12 November 2013

MENCICIPI PEDASNYA TANJAKAN – TANJAKAN TREK UPHILL SOREANG – PUNCAK MULYA


Satu lagi trek uphill yang cukup menantang bisa dijumpai di kawasan selatan Bandung, tepatnya di daerah Soreang, yaitu trek Soreang - Puncak Mulya. Berada di sebelah barat kota kecamatan Soreang, kampung Puncak Mulya secara administratif masuk ke kecamatan Kutawaringin. Rute jalur ini mudah ditemui karena titik start-nya dimulai dari kampung Leuwi Munding yang lokasinya tepat berada di belakang Alun – Alun Soreang. Panjang trek Puncak Mulya ini sekitar 6 km dengan dihiasi beberapa tanjakan curam yang cukup menantang untuk ditaklukkan oleh para goweser uphiller/  pecinta tanjakan. Namun tingkat kesulitan di trek ini masih lebih ringan apabila dibandingkan dengan trek Leuweung Datar yang memang memiliki tanjakan lebih banyak, lebih curam dan jarak yang lebih jauh sampai ke titik tertingginya, sehingga ketenaran trek Puncak Mulya ini dengan sendirinya berada di bawah trek Leuweung Datar yang sudah masuk kategori trek uphill legendaris bersanding dengan trek Tanjakan Monteng Majalaya-Kamojang. Tapi mengingat lokasi dan jaraknya yang relatif dekat dengan pusat kota Soreang, juga jarak treknya yang tidak begitu jauh namun dihiasi tanjakan – tanjakan yang cukup menantang membuat trek ini juga cukup banyak didatangi goweser pecinta uphill dan rasanya layak juga untuk dicoba. Dan jadilah saya bersama 3 orang teman mencoba untuk merasakan juga bagaimana pedasnya tanjakan di trek Soreang – Puncak Mulya ini.

Trek Puncak Mulya terlihat dari puncak Gunung Singa

Gerbang menuju kampung Leuwi Munding

Pukul 8 pagi kami sudah berada di Alun – Alun Soreang, sambil mempersiapkan bekal cemilan dan air minum untuk bekal selama perjalanan kami bertemu dan mengobrol dengan goweser – goweser lain yang juga berkumpul di sini, yang memang jadi titik kumpul bagi goweser yang akan melakukan perjalanan seperti ke arah Ciwidey, Buper Andes - Nangerang, dan tentu saja ke kampung Puncak Mulya. Dari ngobrol – ngobrol tersebut didapat informasi bahwa dari kampung Puncak Mulya ternyata perjalanan bisa dilanjutkan menuju kecamatan Cililin atau Situwangi kecamatan Cihampelas kabupaten Bandung Barat dengan melalui daerah Mukapayung dan Walahir. Atau bisa juga dilanjutkan menuju Ciwidey dengan melalui daerah Gunung Padang yang cukup dikenal di kalangan para peziarah, atau orang yang tengah “menginginkan sesuatu”. Bisa juga dilanjutkan menuju Buper Andes dan Sadu dengan melalui kampung Cilame atau yang terdekat ke daerah Pasir Angin yang berada di kaki Gunung Singa Leuwi Munding. Dan kami yang baru pertama kali menjajal trek ini memutuskan untuk turun menuju Cilame saja, tepatnya menuju kampung Cilame Tengah, dan dilanjutkan menyusuri jalan desa dan saluran irigasi kembali ke kampung Leuwi Munding sebagai titik finish dengan alasan ketidaktahuan kami akan estimasi waktu yang dibutuhkan apabila turun ke Cililin atau Ciwidey, sedangkan waktu gowes kami terbatas hanya sampai tengah hari.





Setelah berpamitan kepada goweser – goweser lain, tepat pukul 09.00 kami bergerak menuju kampung Leuwi Munding, pagi yang segar dan tidak terlalu panas mengiringi perjalanan kami. Setelah melewati jembatan Sungai Ciwidey jalan menjadi sedikit menanjak, terus menuju jembatan di saluran irigasi dan berakhir di atas saluran irigasi, “tanjakan selamat datang” ini cukup membuat detak jantung menjadi lebih cepat, lumayan sebagai pemanasan. Dari ujung tanjakan perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan beraspal mulus dan berhawa sejuk karena di kiri kanan kami dipayungi rerimbunan pohon – pohon bambu. Karena kebetulan saat itu adalah hari minggu, kami pun berpapasan dengan beberapa rombongan yang akan hiking ke Gunung Singa melalui kampung Pasir Angin. Ya, Gunung Singa di daerah Leuwi Munding ini memang menjadi salah satu lokasi favorit untuk melakukan kegiatan hiking, dan dapat menikmati pemandangan kota Soreang, Bandung dan sekitarnya ketika tiba di puncaknya. 15 menit berlalu sampailah kami di sebuah pertigaan. Berbelok ke kiri menuju ke arah barat adalah tujuan kami, menuju kampung Puncak Mulya, sedangkan lurus ke arah utara akan membawa kita menuju kampung Sinday, Jatisari, Stadion Si Jalak Harupat kecamatan Kutawaringin dan sekitarnya.

Yang pertama harus dihadapi ketika kami berbelok ke arah kampung Puncak Mulya adalah jalan menanjak dengan kondisi aspal yang buruk, sebagian besar aspal di jalan ini sudah habis terkikis dan hanya menyisakan kerikil – kerikil lepas. Kami lumayan dibuat ngos – ngosan, melewati jalan menanjak dengan kondisi jalan penuh kerikil ini. Namun selepas tanjakan ini kondisi jalan mulai membaik dan kami mendapatkan bonus jalan mendatar cukup panjang ditambah sebuah turunan sebelum menuju tanjakan berikutnya. Dari pertigaan sampai ke tanjakan yang kami akan kami hadapi berikutnya ini posisinya berada di sisi utara Gunung Singa, kemudian kami bergerak menuju ke sisi baratnya, sehingga mulai dari ujung tanjakan di depan sampai ke kampung Puncak Mulya posisi kami jadi membelakangi Gunung Singa, ini membuat setiap istirahat dan melirik ke arah timur selalu pemandangan Gunung Singa dan kota Soreang selalu menemani dan menjadi penghibur kami. Tanjakan berikutnya tidak begitu panjang dan relatif masih landai, namun dihiasi sebuah belokan, ini yang membuatnya menjadi menarik. Akselerasi jadi sedikit berkurang karena harus berbelok, hasilnya selepas belokan gowesan harus lebih di-push untuk mengejar akselerasi yang tadi sempat berkurang, dan meskipun tanjakan ini bisa dilewati dengan lancar namun tetap membuat nafas menjadi semakin ngos – ngosan.  Jalan kembali datar, lumayan sekitar 8 menit menikmati jalan mendatar ini, kami bertemu kembali dengan tanjakan landai, dengan karakteristik lurus, kembali tanjakan ini dilewati dengan lancar, tapi betis mulai terasa panas dan gowesan sudah mulai terasa memberat, tidak terasa sudah hampir 2 km kami menyusuri jalur ini, pantas saja betis dan dengkul ini sudah mulai sedikit overheat.  

Tanjakan pertama

Jalur menanjak berlatar sisi barat
Gunung Singa



Hanya 5 menit berlalu di jalan mendatar, tibalah kami di sebuah tanjakan lagi, kali ini lumayan curam dan panjang. Di kiri kami berdiri anggun Gunung Aul dengan 2 puncaknya yang berhadapan, gunung ini terlihat gersang, jarang pepohonan, berbeda jauh dengan Gunung Kutawaringin di sisi kanan kami, gunung ini hijau dan bervegetasi lebat. Di kejauhan terlihat seorang pengendara motor yang berboncengan tengah berjuang melewati tanjakan ini namun gagal, motornya menyerah tidak sanggup melewatinya, akhirnya sang penumpang harus rela berjalan menuntaskan tanjakan tersebut. Kami sedikit gugup, sebegitu beratnya kah tanjakan ini sehingga motor pun harus menyerah di tengahnya?? Satu per satu sepeda melaju mulai mendaki tanjakan ini, selepas jembatan di awal tanjakan betis mulai menegang, namun kaki masih bisa menoleransi kayuhan, sepeda masih bisa melaju meskipun sedikit merayap. Memasuki pertengahan tanjakan gowesan terasa semakin berat, dan di depan ada sedikit jalan bergelombang, inilah yang menyebabkan motor tadi menyerah rupanya, dan memang ketika sepeda menginjak jalan yang bergelombang ini, kayuhan yang tadi sudah dimaksimalkan pun seakan tidak cukup untuk bisa melaluinya, berat sekali memang. Satu per satu kami berhasil melewati tanjakan ini, dan kami pun beristirahat sejenak di bawah rerimbunan bambu di ujung tanjakan untuk mengatur nafas yang tersengal. Di sini rupanya ada juga 3 orang goweser lain yang sama – sama sedang beristirahat setelah melewati tanjakan ini, setelah sejenak mengobrol rombongan goweser tadi akhirnya melanjutkan perjalanan duluan. 10 menit kami beristirahat di ujung tanjakan ini, setengah jalan lagi untuk mencapai kampung puncak mulya, waktu sudah menunjukkan pukul 09.55, ketinggian kami saat itu berada di ± 1025 mdpl, lumayan juga elevasinya, ketinggian saat start di kampung leuwi munding adalah ± 785 mdpl, dan saat ini kami sudah melalui separuh dari keseluruhan perjalanan menuju kampung Puncak Mulya. 

Tanjakan kedua

Motor menyerah di tanjakan kedua

"Menikmati sajian" tanjakan kedua

Sepeda kami pun melaju kembali menyongsong tanjakan – tanjakan yang entah seperti apa di karakteristiknya di depan sana. Selepas tanjakan ini rupanya kami tidak lagi menemui bonus jalan mendatar, yang ada hanyalah jalan berkelok – kelok, tidak terlihat menanjak namun ketika melewatinya betis terasa menegang dan nafas terengah – engah, cukup panjang juga jalan berkelok ini dan di ujungnya ada sebuah jembatan, kemudian jalan berbelok, baru kemudian setelah jembatan ini kami bertemu lagi dengan sebuah tanjakan lumayan curam. Karakteristik jalur yang seperti ini mengingatkan saya ke trek uphill di Bandung Timur yang cukup terkenal yaitu Ujung Berung -  Palintang, jalur ini mirip sekali dengan jalur selepas lapangan bola Palintang menuju titik tertingginya di pertigaan menuju Cibodas, Palasari 2 dan jalur Genteng. Kembali kami beristirahat di ujung tanjakan ini sambil menyaksikan pemandangan Gunung Singa dan kota Soreang di hadapan kami. Di sisi utara terlihat jalan berkelok – kelok yang tadi kami lewati, pantas saja kami terengah – engah, dari sini baru terlihat menanjaknya jalan yang baru saja kami lewati itu. Tidak terlalu lama kami berhenti di sini karena cuaca sudah beranjak panas dan di sini pun cukup gersang, tidak ada pohon – pohon peneduh. Namun di hadapan kami kembali sebuah tanjakan menanti, pendek namun cukup curam, dengan susah payah kami melewatinya, beruntung dari sini kami kembali dipayungi pepohonan sehingga kami tidak terlalu menderita.
Tanjakan - tanjakan landai
selepas tanjakan kedua

Tanjakan - tanjakan landai 
selepas tanjakan kedua

Tanjakan ketiga



Dan tantangan pun berlanjut, selepas ini kembali jalan menanjak, lebih curam dari sebelumnya, kemudian jalan berbelok patah, mirip sekali karakteristiknya dengan tanjakan Omen di trek Leweung datar, hanya tingkat kecuraman dan panjang tanjakannya saja yang berbeda, tanjakan ini lebih pendek dan relatif lebih landai apabila dibandingkan dengan tanjakan Omen. Lutut semakin gemetar, betis semakin menegang dan nafas tersengal - sengal ketika kami melewati tanjakan ini. Seperti halnya ketika melewati tanjakan Omen, di tanjakan ini pun kami berhenti beristirahat di ujung belokan patah di tengah – tengah tanjakan, sepertinya spot seperti ini memang sangat cocok untuk berhenti beristirahat sambil memperhatikan para goweser lain berjuang menapakinya. Seperti yang biasa dijumpai di tanjakan Omen dan tanjakan Monteng Kamojang. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10.25 ketika kami beristirahat di sini, dan ternyata jarak yang kami tempuh yang hanya sekitar 600 m ini harus dilalui selama 30 menit lebih.





Tanjakan keempat

Tanjakan kelima yang memiliki karakteristik mirip
Tanjakan Omen Leuweung Datar


Perjalanan menuju kampung Puncak Mulya sudah mendekati akhir, tanjakan ini adalah tanjakan terakhir sebelum memasuki kampung Puncak Mulya. Setelah 5 menit beristirahat kami melanjutkan perjalanan, dan tidak lama kemudian sampailah kami di kampung Puncak Mulya, dengan ciri yang paling khas ketika kita menginjakkan di kampung ini adalah plang SDN PUNCAK MULYA yang menjadi penanda kalau perjalanan menuju kampung Puncak Mulya ini berakhir. Kami tiba di sini sekitar pukul 10.45, berarti kami menghabiskan waktu sekitar 1 jam 45 menit untuk mencapai kampung yang berketinggian ± 1.100 mdpl ini dari Soreang, namun kami bisa memastikan bagi para goweser pencinta uphill jarak 6 km dari Soreang menuju kampung Puncak Mulya ini tidak akan memakan waktu selama kami, mungkin ada yang bisa mencapainya kurang dari 1 jam saja. Dan di sebuah warung di dekat pertigaan kami beristirahat sambil sedikit bertanya – tanya jalur yang akan kami tempuh pada saat pulang nanti.



Semakin mendekati kampung Puncak Mulya



Warung di pertigaan kampung.
Arah yang ada di foto ini menuju ke cililin dan situwangi

Dari pertigaan di dekat warung ini jalur yang mengarah ke utara adalah jalur yang menuju kecamatan Cililin atau ke Situwangi kecamatan Cihampelas dengan melewati daerah Mukapayung dan Walahir yang sempat dilanda longsor besar beberapa waktu ke belakang. Sedangkan jalur yang mengarah ke selatan adalah jalur yang menuju Pasir Angin, Cilame dan Buper Andes, atau ke Ciwidey. Dan sesuai dengan kesepakatan awal tadi, kami pun pulang dengan mengambil jalur kampung Cilame Tengah dan menuju kembali ke Leuwi Munding sejauh kurang kebih 7,5 km. 

Tanjakan lagi selepas warung ke arah selatan


Berlatar Gunung Aul



Turunan makadam menjelang pertigaan
menuju Pasir Angin

Menuju Cilame


Turunan curam menjelang kampung
Cilame Tengah

Bonus singel trek menuju Cilame Tengah

Foto bersama berlatar Gunung Singa dan sekitarnya
Setelah kembali berhadapan dengan beberapa tanjakan, akhirnya kami sepenuhnya meluncur menyusuri jalan menurun menuju kampung Cilame Tengah, dilanjutkan dengan menyusuri jalan ke arah utara di tengah – tengah area pesawahan dan saluran irigasi menuju kembali ke kampung Leuwi Munding sebagai titik akhir perjalanan kami mencicipi pedasnya trek uphill Soreang - Puncak Mulya ini.   


Dimuat di HU Pikiran Rakyat edisi 7 Desember 2013