Rabu, 30 Januari 2013

GOWES DAN NARSIS DI JALUR SITU CILEUNCA – BUKIT TELETUBBIES ARGAPURI


Pada kesempatan kali ini saya akan memperkenalkan satu lagi jalur gowes XC yang ada di Bandung Selatan, yaitu jalur Situ Cileunca - Argapuri, yang dimulai dari dam Sungai Palayangan Situ Cileunca dan berakhir di Bukit Indah Argapuri Kecamatan Pasirjambu. Jalur ini cukup variatif, kombinasi jalan aspal, makadam, dan singel trek yang hampir sekitar 60% berada di tengah-tengah perkebunan teh, berpadu dengan keindahan pemandangan di sepanjang jalurnya. Hal itulah yang membuat saya sedikit tergerak untuk menambahkan kata narsis yang sudah saya persempit sendiri maknanya menjadi berfoto diri sendiri di suatu tempat yang salah satu tujuannya selain sebagai kenang-kenangan juga menjadi satu kebanggaan bisa menjejakkan kaki kita di tempat itu. Akan sangat menyesal apabila gowes ke jalur ini dilalui tanpa berfoto-foto di sepanjang jalurnya, semua keindahan yang tersaji selama perjalanan akan menggoda siapapun yang menjajal jalur ini untuk mengabadikan keindahannya.
Supaya kita bisa lebih menikmati gowesan kita dan sekaligus menghemat tenaga, berhubung jarak dari titik start di Situ Cileunca sampai titik finish di Bukit Indah Argapuri berjarak lebih dari 10 km dan jalurnya lumayan menguras stamina karena banyaknya tanjakan dan turunan, sebaiknya kita mengangkut sepeda kita terlebih dahulu menggunakan mobil bak terbuka atau sejenisnya menuju titik start di Situ Cileunca atau menurut istilah para goweser di-loading terlebih dahulu.
Setelah mengecek kelengkapan dan kesiapan kita serta sepeda kita, gowes dimulai dari pinggir Situ Cileunca  sebelum dam Sungai Palayangan menuju jalan kecil ke arah barat, di sekitar titik start ini pemandangan lumayan indah, berfoto di sekitar tempat ini rasanya sayang apabila dilewatkan. 


foto bersama di pinggir situ cileunca


foto bersama di dam sungai Palayangan

Tidak terlalu lama kita gowes, jalan aspal berganti singel trek yang membawa kita menuju ke perkebunan teh. Trek menurun di tengah perkebunan teh menyambut kita selepas tanjakan, trek menurun yang minim belokan tajam membuat kita leluasa memacu sepeda kita menyusuri kebun teh kemudian masuk ke hutan pinus. Singel trek ini berakhir di jalan aspal Perkebunan Riung Gunung yang juga merupakan jalan alternatif Pangalengan – Ciwidey.






Perjalanan sepanjang trek ini sebenarnya mengikuti jalur jalan alternatif Pangalengan – Ciwidey, tetapi di banyak bagian kita mengambil jalan pintas  berupa singel trek di tengah -  tengah perkebunan teh. Dari ujung singel trek pertama tadi kita memintas lagi, mengambil jalur menanjak menuju perkampungan, masuk kembali ke perkebunan teh menempuh jalur yang menanjak menuju sebuah spot yang lumayan tinggi di antara perkebunan teh. Di titik tertinggi inilah kita beristirahat sejenak sambil menikmati hamparan perkebunan teh Perkebunan Teh Pasir Malang afdeling Riung Gunung yang diselingi pepohonan tinggi, memandangi pemandangan kota Pangalengan di kejauhan yang seakan dipagari jajaran pegunungan Wayang Windu, terlihat pula asap membubung dari pembangkit listrik PLTP Wayang-Windu, sangat indah memanjakan mata. Kita seakan dipaksa untuk mengabadikan diri kita, berfoto diantara semua keindahan ini. Suasana alam perkebunan teh  membuat kita kembali segar dan siap melanjutkan setengah dari keseluruhan perjalanan ini.






Dari lokasi kita beristirahat kita sekali lagi disambut trek menurun sebelum masuk kembali ke jalan Pangalengan-Ciwidey. Sebagai selingan dan sedikit memperpendek jarak ketika menempuh jalan yang sebagian besar aspalnya sudah terkelupas ini kita bisa kembali memintas melalui singel trek melewati rerimbunan pohon teh yang banyak terdapat di sekitar jalan tersebut. Jalur-jalur tersebut adalah jalan pintas bagi para karyawan perkebunan teh untuk memperpendek jarak tempuh mereka dibandingkan dengan harus berjalan mengikuti jalan besar. Bagi kami, ini adalah sebuah sensasi tersendiri mengayuh sepeda melewati rapatnya pohon-pohon teh, meskipun kita harus berhati-hati jangan sampai kita merusak pohon-pohon teh yang kita lalui.
Akhirnya kita sampai di ujung perkebunan teh Riung Gunung, dari sini perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan Pangalengan-Ciwidey yang kondisinya rusak parah. Pemandangan pun berubah dari hamparan perkebunan teh menjadi pepohonan besar yang di bawahnya diselingi semak-semak dan pohon-pohon kopi, menuju kawasan Gunung Tilu. Gowesan terasa semakin berat sekaligus membosankan. Jalan yang menanjak, berdebu dan kondisi hutan yang sudah agak jarang pepohonannya membuat sinar matahari terus menyinari kita sepanjang jalan ini sampai di titik peristirahatan kita selanjutnya , di ujung tanjakan di kawasan hutan Gunung Tilu.







Tibalah kita di sebuah bangunan kayu di tengah hutan gunung tilu. Di bawah pepohonan besar banyak terdapat pohon-pohon kopi, mungkin pohon-pohon kopi ini adalah sebagian dari program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) yang sempat digulirkan pemerintah beberapa waktu lalu. Kita kembali beristirahat sejenak di sini untuk memulihkan stamina kita. Trek selanjutya yang akan kita tempuh adalah turunan sepanjang jalan Pangalengan-Ciwidey dilanjutkan dengan menyusuri singel trek menurun di sepanjang perkebunan teh PPTK Gambung menuju titik finish kita di Bukit Indah Argapuri atau yang kami sebut sebagai Bukit Teletubbies.
Menyusuri akhir dari perjalanan kita ini terutama ketika melewati jalan besar kewaspadaan dan handling prima mutlak dibutuhkan. Kondisi jalan menurun berkelok-kelok dengan aspal yang sudah menghilang hanya menyisakan batu-batu kerikil akan dengan mudah membuat kita kehilangan kontrol dan akhirnya membuat kita terjatuh. Mengingat resiko yang mungkin terjadi, di sepanjang jalan ini sebaiknya kita menahan diri untuk memacu sepeda kita, sambil terus berkonsentrasi dan waspada, mengingat jalan ini juga cukup ramai dilalui masyarakat dari atau menuju Pangalengan dan sekitarnya.
Setelah kita menyusuri jalan menembus hutan Gunung Tilu maka sampailah kita di perkebunan teh PPTK Gambung, ini berarti kita sudah memasuki wilayah kecamatan Pasirjambu. Dari sini kita kembali mengambil jalan pintas memasuki singel trek di tengah hamparan perkebunan teh. Jalurnya cukup menantang, memacu sepeda melewatinya bisa mengobati rasa kesal kita tadi menyusuri jalan besar sebelumnya. Tapi sekali lagi, kita tetap harus berkonsentrasi dan waspada, beberapa tonjolan akar pohon teh dan ranting-rantingnya siap menghadang kita. 






Akhir dari singel trek ini adalah sebuah sungai, dan dari sini kita masuk ke jalan Gambung yang beraspal hotmix  mulus. Sekitar 10 menit kita mengayuh sepeda kita dan akhirnya sampailah kita di pintu masuk Bukit Indah Argapuri, menanjak sedikit dan sampailah kita di titik finish di atas Bukit Teletubbies.   
Tempat ini berupa beberapa gundukan bukit-bukit kecil yang uniknya tidak ada tumbuhan yang tumbuh di atasnya, mengingatkan kita kepada serial televisi untuk anak-anak, Teletubbies. Pada sore hari banyak orang yang menghabiskan waktunya di sini, menikmati hangatnya mentari sore sambil menunggunya hingga tenggelam. Beberapa komunitas motokross juga sering mendatangi bukit ini dan memacu motor-motor mereka melewati bukit-bukitnya, kami pun tergoda untuk memacu sepeda melewati bukit-bukit tersebut, nikmat sekali. Setelah puas bersepeda mengitari bukit ini, saatnya kita beristirahat, dan sekali lagi kita dipaksa untuk mengeluarkan kamera kita mengabadikan pemandangan menakjubkan ini, inilah akhir dari perjalanan kita di jalur ini.







Puas beristirahat, saatnya kita kembali ke rumah kita masing-masing. Ada dua pilihan jalur pulang dari bukit indah argapuri ini, yang pertama kita bisa drifting menyusuri jalan mulus menurun menuju kota Ciwidey kemudian menuju Soreang. Atau bagi yang belum puas menikmati jalur offroad, bisa mengambil jalur singel trek di belakang Villa Argapuri kembali masuk ke kawasan hutan Gunung Tilu menuju kampung Cinangsi Kecamatan Cimaung, kemudian menyusuri jalan aspal sepanjang alur sungai Cisangkuy yang akan membawa kita ke jalan raya Soreang-Banjaran, tepatnya di kampung Ciherang. Dua jalur pulang tadi masing-masing menawarkan kenikmatan tersendiri, mengambil opsi pertama atau kedua sebagai jalur pulang rasanya tidak terlalu menjadi masalah. Hal yang paling utama adalah kepuasan kita bersepeda di alam terbuka sambil menikmati keindahannya, sambil tetap berhati-hati dan berkonsentrasi selama mengayuh sepeda kita dari awal perjalanan sampai akhirnya kembali ke rumah kita masing-masing.


Minggu, 27 Januari 2013

CURUG CIPANJI, MENIKMATI KEINDAHAN DALAM KESUNYIAN


Di Ciwidey ada curug yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kota Ciwidey? masa iya sih. Itulah kesan saya ketika pertama kali mendengar dari seorang kawan bahwa di daerah Ciwidey ada curug atau air terjun. Saya sedikit terkejut, soalnya dari yang selama ini saya ketahui dari sekian banyak obyek wisata yang ada di daerah Ciwidey dan sekitarnya tidak pernah saya mendengar obyek wisata curug/ air terjun, tapi teman saya meyakinkan saya bahwa memang di daerah Ciwidey terdapat curug karena dia memang pernah hiking kesana dan kemudian menantang saya untuk membuktikannya sendiri dan saya menyanggupinya. Ialah curug Cipanji, terletak di desa Tenjolaya kecamatan Pasirjambu Ciwidey. Saya dan beberapa orang teman akhirnya memutuskan untuk mengunjunginya dengan bersepeda MTB.

 Dan pergilah kami kesana. Setelah melahap tanjakan-tanjakan sepanjang perjalanan dari Bandung, sampailah kami di Ciwidey. Jalan menuju curug ini berada tidak jauh setelah melewati satu rumah makan sunda terkenal di sana, kita kemudian akan menemukan belokan ke kiri, itulah jalan menuju ke curug Cipanji. Dan kita akan menerima kejutan yang berkesan manakala melewati jalan ini, tanjakan-tanjakan panjang, fisik kita diuji lagi untuk melewati tanjakan-tanjakan ini. Jalan yang dilalui sudah beraspal hotmix, dengan lebar sekitar 3-4 meter. Setelah sekitar 1 km kita bergerak kita akan menemukan jalan bercabang, ambil jalan yang ke kanan dan kejutan itu masih berlanjut, kita masih harus melewati tanjakan-tanjakan lagi, beruntung jalan yang lumayan mulus memudahkan kami untuk melewatinya, dan setelah ini kita menemukan lagi sebuah persimpangan, dan jalur yang diambil adalah ke kanan, ke arah perkebunan teh.


Foto bersama sebelum memasuki singel trek







Jalur yang pendek namun melelahkan karena tanjakannya semakin terjal, dan jalan beraspal akan segera berakhir berganti dengan makadam, dan setelah kita melewati jalur makadam ini saatnya kita untuk beristirahat. Di ujung jalan besar sebelum memasuki jalan setapak kita akan menemukan rumah penimbangan pucuk teh yang lumayan luas, tempat yang cocok untuk mengumpulkan tenaga, karena jalur yang akan dihadapi berikutnya adalah trek tanah merah menyusuri kebun teh sebelum jalur ini membawa kita masuk ke hutan, dan tentu saja, masih menanjak. Di trek ini rasanya nyali dan tenaga saja rasanya belum cukup, harus diikuti oleh perhitungan matang dan kemampuan pengendalian sepeda untuk melewatinya, saya benar-benar merasakan susahnya mengendalikan sepeda ketika mendakinya, apalagi nanti ketika menuruninya, tampaknya akan menjadi sebuah balasan yang sempurna, idaman para penggemar MTB. Perjalanan menyusuri kebun teh seakan singkat karena kita dimanjakan oleh pemandangan alam yang sangat indah, hamparan kebun teh dengan latar belakang kota Ciwidey dan barisan bukit-bukit yang ada di sekitarnya. Tak terasa kita akhirnya masuk ke hutan, tapi ternyata hutan yang dari kejauhan tadi kelihatan lebat itu ternyata tidak seperti kelihatannya, banyak lahan yang sudah beralih fungsi menjadi lahan-lahan pertanian, entah legal atau ilegal, sedikit rasa kecewa dan terenyuh menyelinap di hati.

Sepeda kami hanya bisa dikendarai sampai sekitar 2 km, selanjutnya jalan menurun curam menuju dasar lembah, sepeda pun harus dituntun. Setelah menyeberangi sungai perjalanan menjadi semakin sulit, jalan yang licin dan curam harus dilewati, sepeda sudah tidak mungkin lagi dinaiki. 





Beruntung jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar 100 m dan jalan pun berakhir di pinggir sungai. Sepeda sudah tidak memungkinkan lagi untuk dibawa, sedangkan curug masih belum kelihatan juga, bahkan gemuruh suara air terjunnya sekalipun belum kedengaran. Akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan sepeda di sana dan meneruskan perjalanan tanpa membawa sepeda, setelah sepeda kami amankan perjalanan pun dilanjutkan. Dari jawaban seseorang yang sempat kami temui di perjalanan, seharusnya curug itu sudah tidak terlalu jauh lagi jaraknya dari posisi kami, dan benar saja, setelah sekitar 50 meteran kami menyusuri sungai sampailah kami di curug Cipanji.



Curug pertama yang kami temui ini berupa tebing sungai yang landai sehingga lebih menyerupai sebuah perosotan besar yang dialiri air, pantas orang yang tadi kami tanyai menyebutnya dengan “sosorodotan”/ perosotan. 

Kami masih penasaran karena orang tadi menyebut masih ada lagi curug-curug yang lebih tinggi. Benar saja, setelah kami menyeberangi curug yang pertama, dari kejauhan terlihat ada 2 curug lagi, bersusunan, yang bawah tingginya sekitar 5 meter, dan yang di atas tingginya sekitar 8 meter. Sebuah kejutan bagi kami, bisa menyaksikan 3 curug/ air terjun bersusun seperti ini, tapi masih saja kami penasaran karena ini semua belum dapat menjelaskan jawaban dari orang tadi.




Kami mencoba untuk menyusuri jalan setapak yang posisinya berada di tebing di atas curug-curug tadi, harus ekstra hati-hati melewatinya, karena jika terpeleset curug-curug sudah siap menelan kami. Di ujung curug ketiga, jalan buntu. Kita harus menyeberangi sungai ini, jaraknya sekitar 1 meter di depan mulut air terjun, adrenalin meninggi, namun rasa penasaran membuat keinginan untuk melihat curug yang tertinggi mengalahkan rasa itu. Setelah menyeberanginya, mulailah terlihat banyak uap air dan terpaan angin kencang, kami yakin curug pertama sudah semakin dekat. Inilah jawaban dari orang tadi rupanya, curug Cipanji!. Curug setinggi sekitar 15 meter dengan debit air yang besar namun jernih menimbulkan uap-uap air dan menghembuskan angin yang cukup besar ketika airnya menyentuh dasar air terjun, membasahi pepohonan yang berada di sekitarnya, Indah!








Perjalanan melelahkan sejak dari Bandung terbayar di sini. Hembusan angin yang disertai uap air menghilangkan penat kami, berganti kesegaran. Lokasi yang bersih karena curug ini memang jarang dikunjungi orang memberikan kami sesuatu yang berbeda. Terbebas dari hiruk pikuk aktifitas manusia, baik yang berwisata ataupun para pedagang dengan lapak-lapaknya diposisikan tepat berada di sekitar air terjun, serakan sampah dan perilaku-perilaku menyimpang lainnya yang akhirnya hanya merusak keindahan lokasinya itu sendiri. Di sini yang kami lihat dan rasakan hanyalah sebuah keindahan alam yang berada dalam kesunyian. Kami hanya ditemani gemuruh air terjun, suara-suara burung penghuni hutan dan pepohonan tinggi yang mengelilingi kami, sungguh eksotis. Padahal kami mengunjungi curug ini pada hari Minggu, tapi jarang sekali orang di sana. Kami hanya bertemu kurang dari 15 orang pada saat itu, di lokasi maupun di sepanjang perjalanannya, cukup mengejutkan mengingat lokasi curug ini yang tidak terlalu jauh jaraknya dari kota Ciwidey.

Bagi orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap hal-hal yang berbau mistis, kesunyian di tempat ini pasti akan menimbulkan nuansa berbeda dan akan menimbulkan pikiran-pikiran tentang hal-hal gaib. Tapi di luar itu, pesona curug Cipanji benar-benar memanjakan kita. Empat curug yang bersusun dengan airnya yang jernih dan udaranya yang sejuk membuat kita betah berlama-lama di sini, bahkan rasa dingin yang semula menyelimuti kami terkalahkan melihat godaan airnya yang jernih, jadilah kami semua berenang di curug keempat, yang berupa perosotan itu, meluncur ke dasarnya yang berupa cerukan lebar. Bagi kami, ini adalah sebuah waterboom alami, hasil karya alam yang menakjubkan.

Saatnya pulang, melihat siang yang semakin mendung membuat kami harus bergegas pulang, trek tanah yang masih basah bekas hujan hari sebelumnya siap menguji kemampuan kami bersepeda. Segera kami ambil sepeda dan menuntunnya kembali menuju ke atas lembah, ke trek yang akan membawa kami kembali ke perkebunan teh di bawah sana. Dan kesenangan pun dimulai, kami benar-benar menikmati naiknya adrenalin ketika meluncur dan meliuk-liuk melintasi trek menurun ini. Tidak terasa sampailah kami di trek makadam kembali, mengantarkan kami menuju jalan aspal kembali ke Ciwidey dan pulang ke rumah dengan membawa berjuta pengalaman mengesankan.

Sambil bercanda salah satu teman saya bilang, mudah-mudahan curug ini tidak terdeteksi oleh masyarakat lainnya maupun oleh pemerintah/ dinas pariwisata sehingga tidak akan ada pembangunan yang dapat mengubah kondisi alamnya, juga kemungkinan banyaknya wisatawan yang datang berwisata yang ditakutkan akan ikut menyumbang kerusakan di sekitar curug Cipanji. Sehingga suasana alam di sekitarnya akan tetap seperti apa adanya, dan curug Cipanji akan tetap berada dalam kedamaian dan kesunyiannya.          
   

Jumat, 25 Januari 2013

MENJAJAL TREK XC “SATE – BAJIGUR” (CANTILAN-ALUN ALUN SOREANG)


Jalur-jalur atau trek bersepeda di seputaran Bandung memang sangat banyak dan variatif, mulai dari jalur aspal, cross country atau XC sampai trek downhill atau DH tersedia di kota kita tercinta ini. Pada kesempatan ini saya ingin memperkenalkan salah satu trek bersepeda di kawasan Bandung Selatan yang berkategori  XC, yaitu trek “Sate-Bajigur”. Sedikit aneh memang namanya, nama trek ini sebenarnya adalah Cantilan - Jereged - Alun Alun Soreang, sesuai dengan rute yang dilewatinya. Saya sengaja mengambil nama kuliner tadi karena memang trek ini berhubungan erat dengan kedua kuliner tersebut. Trek ini mengambil start di dekat Rumah Makan Sate Cantilan Kecamatan Kutawaringin dan berakhir di depan lapak penjual bajigur depan Mesjid Agung Alun-Alun Soreang. Apabila kita memang berniat untuk menikmati hangat dan nikmatnya bajigur di akhir perjalanan, maka kita harus memulai perjalanannya pada siang hari sekitar pukul 14 wib karena pedagang bajigurnya baru mulai berdagang sekitar pukul 17 wib. Dengan estimasi waktu 4 jam, kita akan sampai di Alun-Alun Soreang pada petang hari sekitar pukul 18 wib. Artinya kita juga harus mempersiapkan perlengkapan untuk ber-night riding seperti lampu senter, karena kita akan gowes pulang menuju rumah masing-masing sekitar pukul 19 wib, sekaligus sebagai antisipasi apabila kita kemalaman sebelum mencapai finish point. 

Trek ini sangat variatif dan menantang fisik dan skill bersepeda kita, juga menawarkan keindahan alam Bandung Selatan dan sekitarnya yang dapat kita nikmati selama menjajal trek ini. Variatif dan menantang karena di sepanjang trek ini kita akan disuguhi banyak tanjakan yang cukup menguras tenaga, bukan hanya tanjakan jalur aspal, tapi kita juga akan menghadapi tanjakan jalur semen, makadam dan singel track tanah. Juga kita akan melewati beberapa turunan yang cukup curam. Dan satu variasi trek yang cukup unik di jalur ini adalah “jalur silet”, yaitu menyusuri dinding fondasi irigasi selebar kurang lebih 30 cm dengan panjang sekitar 150 m. Hanya memiliki 2 pilihan untuk melewatinya, yang kurang percaya diri lebih baik kita menuntun sepeda kita melewatinya, dan yang merasa sanggup mengendalikan keseimbangan kita bisa mencoba mengendarai sepeda kita melewatinya, dengan konsekuensi kalau kita kehilangan konsentrasi dan keseimbangan, siap-siap tercebur ke saluran irigasi.  

Perjalanan dimulai di sekitar Rumah Makan Sate Cantilan, begitu kita melaju kita langsung disambut tanjakan Cantilan, lumayan buat pemanasan. Dari ujung tanjakan Cantilan kemudian berbelok ke kiri masuk ke singel trek di pinggiran saluran irigasi, kita menyusuri trek ini sampai ke jalan desa di desa Jatisari. Setelah sekitar 15 menit kita melaju, kita berbelok ke kanan dari samping sebuah pesantren, menuju ke trek semen. Tapi sebelumnya kita harus melewati lagi satu tanjakan aspal, lolos dari tanjakan ini, kita mengatur napas sejenak karena sekarang akan memasuki tanjakan semen. 

Tanjakan selamat datang, sebelum masuk ke trek semen

Ini sebenarnya adalah sebuah gang sepanjang kurang lebih 300 m dengan lebar sekitar 1 m yang kondisinya menanjak membelah perkampungan dan persawahan. Bisa dikatakan ini adalah ujian pertama dari fisik dan skill bersepeda dari keseluruhan perjalanan kita, membagi kemampuan fisik, konsentrasi dan handling bersepeda ketika melewatinya. Tantangan akan semakin berat ketika jalur ini dalam keadaan basah terkena hujan.
Trek semen..padahal nanjak nih
masih nanjak

Setelah melewati trek ini, tujuan kita selanjutnya adalah singel trek Pasir Jereged. Dari ujung gang kita mengambil arah ke selatan, kita akan menaklukkan lagi beberapa tanjakan sebelum kita sampai di ketinggian Pasir jereged. Di Pasir Jereged kita beristirahat di sebuah lapangan, kembali mengatur nafas sambil menikmati indahnya pemandangan kota Bandung dan sekitarnya. Pesawahan mengampar luas, terlihat di kejauhan sungai Citarum Lama berkelok-kelok di antara bukit-bukit, sedikit mengarahkan pandangan ke arah barat laut sosok gunung Lalakon yang belakangan menjadi perbincangan hangat kokoh berdiri, di kejauhan berderet pegunungan dari utara bersambung ke timur seperti memagari kota bandung. Sungguh menyegarkan, cukup untuk mengembalikan stamina dan semangat kita menyelesaikan trek ini.    

Setelah tenaga kembali pulih perjalanan dilanjutkan menuju puncak Pasir Jereged, 
Suasana di puncak Pasir Jereged
untuk kemudian menikmati turunan singel trek menuju Desa Cibodas kecamatan Kutawaringin. Ketika melihat turunan seketika kita tergoda memacu sepeda menuruninya, tetap jaga konsentrasi ketika menuruninya, karena di trek menurun ini sudah banyak goweser jatuh tersungkur, bahkan ada yang sampai terluka.
Menikmati turunan


Masih di ketinggian, di trek menurun itu kita bisa berhenti sejenak di sebuah tempat peristirahatan berupa saung bambu yang posisinya menghadap ke arah selatan, sawah terhampar di bawah kita dikelilingi bukit-bukit, sangat indah. Di kejauhan terlihat juga kota Soreang, sedikit kontradiksi dengan pemandangan di pesawahan depannya. Perjalanan turun dilanjutkan kembali, bagi goweser yang memiliki skill bersepeda mumpuni bisa kembali memacu sepedanya dan melakukan sedikit cornering di beberapa tikungan menjelang akhir singel trek ini. Ujung singel trek in adalah jalan aspal yang membawa kita ke jalan desa cibodas menyusuri persawahan sebelum akhirnya kembali menyusuri trek saluran irigasi berikut “jalur siletnya”. 

Jalur silet...buat yang mau menguji nyali
Kurang lebih 10 menit kita melaju, kita akan masuk ke singel trek di saluran irigasi. Kembali konsentrasi harus dijaga selama melalui trek ini sebab di samping kita adalah saluran irigasi dengan kedalaman 1 m. terus kita menyusurinya, akhirnya kita akan bertemu dengan “trek silet”. 

Jalur yang tersedia disini hanyalah bantaran dinding fondasi saluran irigasi dari semen selebar kira-kira 30cm, di kanan kita adalah saluran irigasi dan di sebelah kiri kita adalah adalah tanah yang ditumbuhi rumput tebal yang menjadi batas antara saluran irigasi dengan tebing penyangganya. Yang bernyali bisa mencoba mengendarai sepeda kita menyusurinya, sambil berharap tidak terpeleset dan terjatuh ke arah kanan, tercebur ke saluran irigasi. Atau cara teraman adalah menuntun sepeda kita untuk melewatinya. Dari saluran irigasi kita akan menuruni tebing menuju persawahan, dan kita akan kembali masuk ke jalan aspal menyusuri persawahan kembali menuju trek saluran irigasi yang berujung di jalan aspal disambung makadam menanjak menuju kampung Sinday.

Tanjakan sebelum makadam jahanam


Fisik kita kembali diuji untuk menaklukkan jalan aspal dan makadam menanjak curam sepanjang kurang lebih 500m. Kami menjuluki tanjakan ini makadam jahanam karena begitu sulitnya menaklukkan tanjakan ini. Ini adalah ujian terakhir fisik kita menjelang akhir perjalanan.

Makadam jahanam

Di kampung Sinday di ujung tanjakannya kita akan menemui perempatan, mengambil jalan lurus akan langsung mengantar kita menuju leuwi munding, akhir dari perjalanan kita. Tapi kita akan mengambil belokan ke kiri kembali masuk singel trek menanjak di antara rumpun-rumpun bambu dan semak-semak untuk menemui bonus terakhir dari perjalanan kita yaitu mencicipi nikmatnya turunan mini DH ini. Sehabis menikmati trek menurun ini kita kemudian menuju kampung Leuwi Munding. Setelah kira-kira 15 menit kita melaju sampailah kita di pertigaan Leuwi Munding - Alun Alun Soreang, ini artinya adalah akhir dari perjalanan kita. Kita akan menuju finish point kita di Alun-Alun Soreang, tepatnya di depan Mesjid Agung Soreang dimana pedagang bajigur tersebut berada. Dan akhirnya perjalanan kita akan ditutup oleh nikmat dan gurihnya segelas bajigur hangat, sambil dinikmati bersama beberapa potong gorengan yang disiram sambal oncom pedas.


Imbalan yang sepadan setelah kita menghabiskan tenaga menggowes sepeda kita sejak pukul 14 menyusuri trek ini. Puas beristirahat sambil menikmati bajigur dan gorengan, badan kembali segar, siap untuk ber-night riding menempuh Jalan Raya Soreang kembali ke rumah kita masing-masing. 
Dimuat di harian PR edisi 11 Maret 2012